Rabu, 27 Juni 2012

Rela pada sesuatu berarti rela terhadap konsekwensi yang ditimbulkannya. Ajaran syariat merupakan media pemadu bagi umat manusia agar senantiasa berada di jalan yang benar dalam menjalani kehidupan ini. Karena itu ajaran syariat selalu menyentuh seluruh aspek kehidupan; kapanpun, di manapun, dan dalam bentuk apapun.semua mempunyai teknis ‘pelaksanaan’ sesuai panduan syariat. Di antara ajaran syariat adalah agar umat manusia selalu berbuat sesuatu berdasarkan keyakinan kuat dan denagn penuh tanggung jawab. Menusia harus mempunyai komitmen kuat terhadap apa yang telah ia putuskan dan ia lakukan . konsekwensi ynag timbul akibat keputusan dan perbuatannya harus diterim, baik sifat positif atau negatif. Secara inmplisit, kaidah ini mengingatkan kita agar berhati-hati dalam menentukan sikap, sebab, ketika seseorang menyatakan rela atau setuju, maka konsekwensinya harus rela menanggung akibat yang ditimbulkan oleh pernyataan itu. Kerelaan dan persetujuan yang dikehendaki dalam kajian ini mengakomodir sagala motif yang memiliki oriantasi persetujuan, kerelaan, pengesahan, perizinan, dan lain sebagainya. Kerelaan bisa berasal dari siapa saja dan berupa apa saja. Bisa berbentuk pertanyaan resmi, sikap permisif (memberi ijin), pengesahan (legalisasi), atau bisa pula berupa hal-hal yang diperlakukan dilegitimasi oleh syariat. Kadang-kadang persetujuan itu berupa tidak adanya penolakan atau tidak hanya komentar yang kemudian menimbulkan sikap persetujuan. Titik tekannya terletak pada adanya izin atau legitimasi atas hal yang dikerjakan. Oleh karena itu, kaedah di atas dalam beberapa literatur ditampilkan dalam menggunakan redaksi berbeda. المتولد من ماْ ذون فية لا اْ ثر لة Hal-hal yang timbul dari sesuatu yang telah mendapat izin tidak akan menimbulkan dampak apapun Dampak (atsar) yang tidak dihiraukan dalam kontek ini dapat secara luas diterapkan dalam berbagi permasalahan, di antaranya dapat kita lihat dalam ilustrasi berikut : 1. Seorang calon suami yang rela akan ‘ayb yang diderita oleh calan istri, menurut satu pendapat (qwal shahih), tida dibenarkan menceraikan istrinya, walaupun di kemudian hari ‘ayb yang dideritanya semakin parah. Sebab, apa yang menimpa istrinya sudah diterima dengan lapang dada sejak semula. Hal yang sama berlaku sebaliknya; sang istri tidak dapat mengajukan talak gara-gara ‘yb yang diderita sang suami semakin parah. 2. Pelaksanaan eksekusi vonis pengadilan atas terdakwah. Pelaksanaan qishash memotong tangan bagi pencuri, misalkan jika menibulkan penularan penyakit ke seluruh tubuh, maka sang algojo tidak dibebani tanggung jawab, karena pemotongan yang dilakukan algojo adalah dalam kerangka menjalankan ketentuan undangan-undangan. Hal yang sama berlaku bila orang yang dipotong tangannya ternyata mati setelah eksekuasipemotongan selesai; sang alsang algojo tidak bertanggung jawab karena apa yang dilakukannya untuk menjalankan keputusan undang-undang. IZIN DALAM TRANSAKSI GADAI Kondisi ekonomi yang semakin sulit memaksa andi untuk mengadaikan sepeda miliknya kepada temannya yang bernama taufiq. Terpaksa jalan ini ia tempuh setelah ia merasa putus asa mencari pinjaman modal usaha. Semenjak sepdanya di gadaikan pada taufiq andi merasa kesulitan untuk pergi kerja. Karena itu, ia memberanikan diri untuk meminta izin kepada Tawfiq untuk di perbolehkannya meminjam sepeda sehari saja. Terdorong rasa iba, Taufiq pun mempersilahkannya. Tanpa diduga, sepeda tersebut hilang. Lantas, bagaimana kelanjutan transaksi gadai yang telah berlangsung. Imam al-Suyuthi, sebagaimana disetujui oleh al-Zarkasyih, Syaikh Yasin al-Fadani, dan beberapa ulama lainnya, menetapkan bahwa transaksi tersebut menjadi batal (infisakh), namun Andi sebagai penggadai (rahin) tidak dibebani sama sekali ganti rugi kepada taufiq.Sebab, kerusakan motor merupakan akibat dari izin dari Tawfiq selaku penerima gadai (murthahin). Yang menarik dari contoh di atas adalah mencari hubungan antara tidak adanya kewajiban membayar ganti rugi (dhoman) dengan rusaknya transaksi gadai. Sesuai pesan kaedah, bisa kita pahami, bahwa kerukan moto dampak (al-mutawallad) dari perbuatan andi yang mendapat izin (al-mu’dzun fih), sehingga mestinya ketentuan yang di terapkan adalah tidak ada berdampaknya kerusakan terhadap Andi. Namun, ketetapan yang diberlakukan adalah batalnya transaksi. Apa keterkaitannya keduanya. Pada dasarnya, transaksi gadai (rahn) dapat disebut transaksi final (luzum) jika barang gadainya (marhun) telah berada di tangan penerima gadai. Setelah taransaksi disepakati kedua belah pihak (luzum, maka tidak dibenarkan membatalkan transaksi tersebut. Jika setelah itu, tanpa sepengetahuan penerima gadai, penggadai melakukan sesuatu terhadap bbarang gadai yang berakibat hilangnya hak milik atas barang tersebut,seperti hilang,diwakofkan, disedahkan dan lain sebagainy, maka maka transaksi menjadi batal dan harus ada ganti rugi. Dalam contoh sebelumnya, kerusakan tersebut tentu jadi batalnya transaksi gadai. Meskipun begitu, karena kerusakan disebabkan oleh perbuatan yang telah mendapat restu dari Taufiq (penerima gadai), maka andi tidak di haruskan menanggung ganti rugi, meskipun transaksinya menjadi batal (infisakh) dengan sendirinya. Dalam konteks serupa, dapat kita temukan contoh mudah dalam penggadaian hewan ternak, seperti sapi. Jika setelah transaksi berlangsung pihak penggadai memanfaatkan sapi tersebut untuk membajakmsawah atas seizin penerima gadai, lalu sapi tersebut mati karna digunakan bekerja, maka transaksi menjadi batal dan pihak penggadai tidak harus membayar ganti rugi, karena ia telah mendapat izin dari penerima gadai. PENGECUALIAN Kaidah ini tidak dapat diberlakuakan dalam aktivitas yang disyaratkan untuk menjaga keselamatan dari akibat yang memungkinkan di timbulkan(salama al-aqibah). Dalam arti, jika terjadi efek yang merupakan dampak dari perbuatan yang seharisnya dapat di hindari, maka kerelaan, izin, atau legalitas yang diberikan tidak begitu saja menjadi ditolerirnya akibat yang ditimbulkan. Untuk memudahkan pemahaman,kita cermati contoh berikut: » Sseorang guru yang menghukum (ta’zir) murit yang melakukan pelanggara, dan telah mendapat izin sang wali. Jika ta’zir itu sangat berat, hingga menimbulakan dampak yang dapat diduga sebelumnya, yakni meninggal dunia, maka ta’zir tersebut harus dipertanggungjawabkan (dhaman). Perlu dicatat, ta’zir adalah hal yang direstui oleh syariaat. Tapi, dalam kasus ini, sng guru wajib bertanggungjawab, karena seberapa izin yang diperbolehkan seorang guru; dari wali murid maupun dari syariat, tetaplah terbatas pada keteentuan menjaga keselamatan dampak yang mungkin timbul (salamt al-aqibah). Dari contoh di atas sedikit memberi satu titik simpul, pada dasarnya selain memberi ta’zir, seorang guru atau sumi masih bisa menjatuhkan hukuman lain yang lebih manusiawi, misalnya menesehati, memberi contoh teladan, mengingatkan, menyindir, memarahi dan lain sebagainya. Apabila ada dugaan kuat bahwa nasehat tidak bisa membuat jera, maka sang guru baru men-ta’zir. Meski demikian, ta’zir tersebut tetap harus dilakukan dengan cara yang tidak membahayakan. Di samping atau ganti rugi (dlaman) atas dampak yang ditimbulkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar