Rabu, 27 Juni 2012

Al-Mujmal A. Pengertian Al-Mujmal Pengertian al-Mujmal hampir delapan pulu persen penggalian hukum syar’i menyangkut lafad. Agar tidak membingungkan pelaku hukum, maka lafadz yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas, kenyataannya petunjuk (dilalah) lafadz yang terdapat nash syara’ itu beraneka ragam, bahkan ada yang kurang jelas (khafah). Suatu lafad yang tidak mempunyai kemungkinan mk’na lain disebut mubayyan atau nash. Bila ada dua makna atau lebih tanpa di ketahui yang lebih kuat disebut mujmal. Namun bila ada makna yang lebih tegas dari makna yang lebih tegas dari makna yang ada disebut zhahir. Dengan demikian yang disebut Al-Mujmal secara bahasa ialah : samar-samar. Secara istilah berarti: lafadz yang maknanya yang tergantung pada lainnya, baik dalam menentukan salah satu maknanya baik dalam menentukan salah satu maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya. Sifat mujmal itu dapat terjadi pada kosa (mufradat). Contoh : lafat yang masi memerlukan lainnya untuk menentukan makna: kata “rapat” misalnya dalam bahasa indonesia memiliki dua makna : perkumpulan dan tidak ada celah. Sedangkan dalam al-Qur’an misalnya surah al-Baqarah: 228 وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ …… Kata “قُرُوءٍ” dalam ayat ini bisa berarti: suci atau haid. Sehingga untuk menentukan maknanya membutuhkan dalil yang lain. Contoh : lafadz yang membutuhkan lainnya dalam menjelaskan tatacaranya. Surah An-Nur : 56 وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ Kata “mendirikan shalat” dalam ayat di atas masih mujmal/belum jelas karena tidak diketahui tatacaranya, maka butuh dalil lalinya untuk memahami tatacaranya. Begitupula ayat Haji dan Puasa. Hukum melakasanakan lafadz mujmal bergantung pada bayan atau penjelasan. Demikian juga ada teori para ulama’ tentang tingkat kejelasan lafadz dan cara memadukan antara tingkat-tingkat jelas tidak suatu lafadz hal ini akan di uraikan lebih lanjut : a. Tingkatan lafadz dari segi kejelasannya. Ada dua kelompok pendapat tentang tinkat dilalah Lafadz dari segi kejelasan, golongan hanafiyah dan golongan mutakalimin. Masing-masing di gambarkan sebagai berikut : Pembagian lafadz itu sebenarnya dilihat dari segi mungkin dan tidak mungkinnya di takwil ataudi nasakh. Dilihat dari perinkat kejelasan lafadz itu menurut golongan Hanafiyah, dimulai dari yang jelas bersifat sederhana (zhahir), cukup jelas (nash), b. Pembagian lafadz dari segi Kejelasannya menurut ulama’ Hanafiyah 1. Zahir ialah : suatu nam bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafadz itu sendiri. Namun, lafazh itu tetap mempunyai kemungkinan lain, sehingga muhammad adip salih menyimpulkan bahwa zahir itu adalah suatu lafazh yang menunjukkan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa menunggu qorinah yang ada di luar lafazh itu sendiri, namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh. Contoh:”dan allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Masing-masing dari lafazh al-Bay’ dan ar-Riba yang mempunyai kemungkinan di takhsis. Kedudukan lafazh zahir adalah wajib diamalkan sesuai petunjuk lafazh itu sendiri sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, mentakwilnya, mennasakhnya. 2. Nasakh mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicaraan sendiri yang bisa diketahui dengan qorinah. Menurut bahasa, nasakh adalah raf’u asy-syai atau munculnya segala sesuatu yang tampak, sering disebut manashahat, menurut istilah ialah suatu lafazh yang maknanya lebih jelas dari pada zahir bila ia dibandingkan dengan lafazh zahir. Kedudukan lafazh nash : hukum lafazh zahir, yaitu wajib diamalkan petunjuknya atau dilalahnya asal tidak ada dalil yang menakwilnya. Perbedaan antara zahir dan nash kemungkinan takwil, takhsis atau nasakh pada lafazh nasakh lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafazh zahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh zahir dan lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh zahir pada lafazh nash. 3. Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas dilalah mufassar wajib diamalkan secara Qath’i sepanjang tidak ada dalil yang menasakhnya. Apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan dilalah nash dan zahir maka dilalah mufasaar harus didahulukan. Lafazh mufassar tidak mungkin dipalingkan dari maknanya karena tidak mungkin di takwil dan di takhsis melainka hanya bisa dinasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya. 4. Muhkam yaitu pasti dan tegas secara istilah muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh. C. Pengertian Mubayan Mubayan adalah : yang dinampakkan dan yang dijelaskan, secara istilah berarti lafadz yang dapat dipahami maknanya berdasar awalnya atau setelah dijelaskan oleh lainnya. Contoh lafadz yang dapat dipahami berrdasar awalnya. Misal kata langit, bumi, adil, dhalim dan sejenisnya kata-kata ini dapat dipahami berdasar asal awal terjadinya seperti itu. D. Kaidah al-Mujmal Wajib bagi orang mukallaf untuk mengamalkan yang mujmal manakalah ada dalil yangmenjelaskannya dari kemujmal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar