Rabu, 27 Juni 2012

Hiwalah A. Pengertian Hiwalah adalah bentuk masdar dari hawala, yang artinya menurut etimology adalah memindahkan atau mengalihkan. Abdurrahaman al-Jazairi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa: “Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain” Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah, para ulama’ berbeda-beda dalam mendifinisikannya, antaralain sebagai berikut: 1. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah: “Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.” 2. Al-Jazairi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah ialah: “Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi menjadi tanggung jawab orang lain.” 3. Syihab Al-Din Al-Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah ialah: “Akat yang menetapkan pemindahan utang dari seseorang ke orang lain.” 4. Muhammad Syatha al-Dimyti berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah ialah: “Akat yang menetapkan pemindahan utang dari beban sesorang menjadi beban orang lain.” 5. Ibrahin al- Bajuri berpendapat hiwalah ialah: “Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan.” 6. Menurut Taqiyudin hiwalah ialah: “Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.” 7. Menurut Idris Ahmad, hiwalah ialah semacam akat pemindahan utang tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang itu punya utang pada orang yang memindahkannya.” Pada dasarnya semua definisi di atas hampir sama, perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa madzhab Hanafi menekankan dari segi kewajiban membayar hutang, sedangkan ketiga madzhab lain menekankan pada hak pembayarann hutang. B. Dasar Hukum Hiwalah dan Akibat Hukum Hiwalah Dasar hukum hiwalah Hiwalah sebagai salah satu bentuk ikatan atau transaksi antar sesama manusia yang dibenarkan oleh Rasulullah SAW, dalam sabda Nya beliau menyatakan: “ Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan orang kaya merupakan perbuatan Dzolim. Jika salah seorang kamu di alihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih. (H.R. Bukhari Muslim) Disamping itu terdapat kesepakatan ulama’ (ijma’) yang menyatakan tindakan hiwalah boleh dilakukan. Akibat hukum hiwalah Jika akad hiwalah telah terjadi, maka timbul akibat hukum dari akad tersebut: a. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayar hutang kepada pihak kedua secara otomatis menjadi terlepas. Sedangkan menurut sebagian ulama’ madzhab Hanafi, di antaranya ialah Kammal bin Hummam menyatakan, bahwasanya kewajiban tersebut masih tetap ada, selama pihak ketiga belum melunasi hutangnya kepada pihak kedua, karena sebagaimana disebutkan sebelumnya. Mereka memandang bahwa akad tersebut didasarkan atas prinsip saling percaya, bukan prinsip pengalihan hak dan kewajiban. b. Akad hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang kepada pihak ketiga. c. Madzhab Hanafi yang membenarkan terjadinya hiwalah al-mutlaqah berpendapat bahwa jika akad hiwalah al-mutlaqah terjadi karena inisiatif dari pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga yang mereka tentukan ketika akad hutang piutang sebelumnya masih tetap berlaku, khususnya jika jumlah hutang piutang antara ketiga pihak tidak sama. C. Rukun dan Syarat Hiwalah Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu, yaitu ijab dan Kabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. Syarat-syarat hiwalah menurut hanafi ialiah: 1. orang yang memindahkan utang (muhilf) adalah orang yang berakal, batal hiwalah yang dilakukan muhil dalam keadaan gila atau masi kecil. 2. Orang yang menerima hiwalah (rah al-dayn) adalah orang yang berakal, maka batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang berkal. 3. Orang yang dihiwalahkan (maha ‘alah) juga harus orang berakal dan disyaratkan pula dia meridhainya. Menurut Syafi’iyah, rukan hiwalah itu ada empat, sebagai berikut: 1. Mahil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan utang. 2. Muhtal, yaitu orang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai utang pada muhil. 3. Muhal ‘alah yaitu orang yang menerima hiwalah. 4. Sighat hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya; “aku hiwalahkan utangku yang haq bagi engkau kepada anu” dan Kabul dari muhtal dengan kata-katanya. “aku terima hiwalah engkau” Syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabiq adalah sebagian berikut. 1. Relanya pihak mihil dan muhal tanpa muhal ‘alah jadi yang harus rela itu muhil dan muhal ‘alah. 2. Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesayannya, tempo waktu, kualitas, dan kuantitas. 3. Stabilnya muhal ‘alah, maka penghiwalahan kepada seorang yang tidak mampu membayar hutang batal. 4. Hak tersebut diketahui secara jelas. D. Manfaat Hiwalah Akad Hawalah dapat memberikan beberapa manfaat dan keuntungan, diantaranya: 1. Memungkinkan penyelesaian hutang piutang dengan cepat. 2. Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan. 3. Dapat menjadi salah satu fee-based income/sumber pendapatan non pembiayaan bagi bank syari’ah. Adapun resiko yang harus diwaspadai dalam kontrak hiwalah yaitu adanya kecurangan nasabah dengan memberi keterangan palsu atau wanprestasi/ingkar janji untuk memenuhi kewajibannya. E. Hukum Hiwalah Hukum Hiwalah bisa berbeda-beda tergantung kondisinya: 1. Sunnah, dengan syarat muhal ‘alaih mempunyai kemampuan untuk membayar, tepat janji dan tidak ada syubhat (tidak diragukan akan kehalalan hartanya). 2. Haram, apabila hartanya jelas keharamannya. 3. Makruh, apabila hartanya masih diragukan keharamannya. F. Catatan Jual Beli Hutang yang Diperbolehkan Menurut al-ashah akad hawalah adalah termasuk jual beli hutang dengan hutang. Maksudnya hutang yang menjadi tanggungan muhil (orang yang punya hutang kepada muhtal) dijual dengan hutang yang menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang punya hutang kepada muhil). Pada dasarnya jual beli hutang dengan hutang tidak diperbolehkan. Namun berdasarkan hajat/kebutuhan dalam akad hawalah diperbolehkan. Pengecualian ini adalah rukhsah (keringanan) tersendiri dalam akad hawalah, karena itu tidak disyaratkan taqabudh fi al-I majlis (serah terima barang di tempat terlaksananya akad) jika hutang yang dijual belikan tersebut berupa barang ribawi. Hawalah dalam Jasa Wesel/Transfer Jasa transfer (wesel): jika seseorang menyerahkan sejumlah uang untuk ditransfer pada orang yang ada di negara A, maka bila memberikannya atas dasar amanah/kepercayaan, maka hukumnya boleh. Pihak yang menerima amanah untuk mentransfer sejumlah uang tersebut tidak berkewajiban mengganti jika tidak ada unsur kelalaian dalam menjaganya dan tidak mencampur dengan hartanya sendiri. Akan tetapi, bila dicampur maka dia berkewajiban mengganti sejumlah uang tersebut di atas. Hal ini pada masa sekarang dikenal dengan sebutan jasa transfer via pos/wesel (al-hawalah al-baridiyah). Sejumlah uang yang disetorkan kepada petugas pos/LKS (Lembaga Keuangan Syari’ah) untuk ditransfer kepada orang tertentu dicampur dengan uang yang lain, kemudian uang yang diserahkan kepada orang yang dituju bukanlah uang yang diserahkan semula, maka atas dasar itu uang tersebut menjadi madhmunah (tanggungan) pihak pos/petugas LKS. Jadi, pihak pos/LKS bertanggung jawab sepenuhnya atas uang tersebut. G. Beban Muhil setelah Hiwalah Apabila hiwalah berjalan sah,dengan sendirinya tanggungan muhil gugur. Andai muhal ‘alah mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali pada muhil, ini pendapat jumhur. H. Berakhirnya Hukum Hiwalah Para ulama’ fiqih mengemukakan bahwa akad hiwalah akan berakhir apabila : a. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu membatalkan akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap, dengan adanya pembatalan akad itu, pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran hutang kepada pihak pertama. Demikian pula pihak pertama kepada pihak ketiga. b. Pihak ketiga melunasi hutang yang di alihkan kepada pihak ketiga. c. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua. d. Pihak kedua menghibahkan, atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad hiwalah itu kepada pihak ketiga. e. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar hutang yang di alihkan itu. f. Pihak ketiga mengalami kebangkrutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar