Rabu, 27 Juni 2012

HUKUM SYARA’ DAN UNSUR-UNSURNYA A. HUKUM 1. Pengertian Hukum Mayoritas ulama; usul fiqih mendefinisikan hikum sebagai berikut: “ Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperative,fakulatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang “ Yang dimaksud Khitob Allah dalam definisi tersebut adalah semua bentuk dalil, baik Al-Quran, As-sunnah maupun yang lain. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil hanya Al-Quran dan As-Sunnah.Adapun ijma’ dan qias hanya sebagai metode menyingkapkan hukum dari Al-Quran dan Sunahtersebut. Yang di maksud perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakalsehat meliputi perbuatan hati, seperti niat dan perbuatan ucapan, seperti ghibah (mengunjing) dan namimah. 2. Pembagian hukum Bertolak belakang dengan hukum diatas, maka hukum menurut ulama’ usul terbagi dalam dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. a. Hukum taklifi  Pengertian Hukum Taqlifi Hukum taqlifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan, dan pilihan untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkan.Contoh hukum shalat, membayar zakat. Sedangkan hukum yang melarangan, seperti memakan harta anak yatim sesuai firman Allah: “Dan janganlah kamu dekati anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat”  PEMBAGIAN HUKUM TAQLIFI Pembagian hukum taqlifi itu terbagi menjadi lima, yaitu: Wajib, Makruh, dan Mubah. Pendapat ini menurut jumhur. Sedang menurut Hanafi hukum taqlifi terbagi 7: Fardhu, Wajib, Mandhub, Makruh tahrim, Makhruh tanzih, Haram dan Mubah. a) WAJIB wajib itu identik dengan fardhu. Wajib adalah suatu perintah yang harus dikerjakan dimana orang yang meninggalkannya berdosa .misalnya, dalam surat An-Nur : 56 artinya :‘’Dan dirikanlah sholat tunaikan zakat’’(QS.An-Nur : 56) sebagian ulama’ madhab Hanafi ada yang menyebut perbuatan wajib sebagai fardhu ‘amali seakan-akan fardhu menurut mereka fardhu terbagi menjadi 2 : 1. fardhu dalam keyakinan dan amal (perbuata), yaitu fardhu yang berdasarkan dalil qath’i. 2. fardhu dalam perbuatan saja, yaitu fardhu yang berdasarkan dalil zahanni. Haram Haram adalah larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan, baik yang telah ditetapkan dengan dalil yang qath’I maupun dalil zhanni. Keterangan tersebut merupakan pendapat jumhur.Menurut pendapat Hanafi, hukum haram harus didasarkan pada dalil qath’I yang tidak mengandung keraguan sedikitpun. Seperti firman Allah: “ Dan jangan kau mengatakan terhadap yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ ini halal dan ini haram “ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah, tiadalah beruntung. Dasar yang dijadikan landadsan hukum haram adalah karena adanya bahaya yang nyata yang tidak diragukan lagi. Setiap perbuatan yang diharamkan syara’ pasti mengandung bahaya,sedangkan perbuatan yang diperbolehkan syara’ pasti mengandung perbuatan kemanfaatan . Hukum haram terbagi menjadi dua bagian : 1. Haram li-dzatih : yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah, karena bahaya tersebut terdapat dalam perbuatan tersebut. Seperti makan bangkai, minuman keras, dll. Perbuatan yang diharamkan li-dzatih adalah bersentuhan langsung dengan salah satu yang diharamkan. Sedangkan yang dimaksud dharury ialah sesuatu yang mana penjagaan terhadap salah satu hal itu. 2. Haram li-ghoirihl’ aridhi : yaitu perbuatan yang dilarangoleh syara’, dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri tetapi, perbuatan tersebut dapat menimbulkan haram li-dzati seperti melihat aurat perempuan, dan menimbulkan perbuatan zinah. b) MANDUB Mandub adalah perbuatan yang dianjurkan oleh sara’. Atau suatu perintah, yang apabila dilaksanakan maka akan diberi pahala, jika ditinggalkan tidak akan di siksa. Mandub itu mempunyai beberapa macam yaitu : 1.sunah mu’akkad, yaitu suatu sunah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu, namun beliau menjelaskan bahwa hal tersebut bukan fardhu yang harus di kerjakan. Seperti shalat Witir, shalat dua rakaat sebelum shubuh. Termasuk sunah mu’akkadah Jumhur fukoha’ ialah nikah bagi orang yang mampu dan dalam keadaan normal. 2. Sunah ghoiru mu’akkad : yaitu sunah yang Tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu. Seperti shalat empat rakaat sebelum zhuhur. 3. Sunah yang tingkatannya dibawah dua tingkatan diatas. Sunah ini ialah mengikuti adat kebiasaan Rasulullah SAW yang tidak ada hubungannya dengan tugas tabligh(penyampaiian ajaran) dari Allah, atau penjelasan terhapat hukum sara’. Seperti cara berpakaian, makan dan minumnya Rasulullah SAW, memelihara jenggot, mengunting(merapikan) kumis yang semuannya ini merupakan adat kebiasaan yang baik. Yang di tuntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dati tuntut itu disebut nadb misalnya, dalam surat Al-Baqarah : 282. Artinya :‘’orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.’’ (QS Al-baqarah : 282). c) Mubah Mubah ialah suatu hukum, dimana Allh SWT memberikan kebebasan kepada orang mukalaf untuk memilih antara mengerjakan suatu perbuata-perbuatan atau meninggalkan.‘’ Mubah ialah suatu perbuatan yang apabila dikerjakan atua ditinggalkan sama-sama tidak memperoleh pujian pendapat itu menurut Imam Asy-Syaukani seperti makan, minum, bergurau, dan sebagainya. Dari sini dapat diketahui bahwa mubah di kategorikan adalah suatu perbuatan yang pada mulanya di haramkan, tetapi karna ada suatu factor yang menyababkan halalkan, maka akhirnya hal tersebut di perbolehkan.Seperti membunuh orang yang murtad, dilihat dari segi kemanusiaan, orang itu haram dibunuh. Tetapi karna ia murtad, maka hilanglah keharaman tersebut. Dan menganbil mas kawin yang tealah diberikan kepada istri hukumnya haram. Berdasarkan firman Allah Artinya : ‘’ dan jika kamu ingin mengganti istrimu dangan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu menganbil dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan dosa yang nyata (Qs. An-Nisa’ : 20). BAB II B. HUKUM WADH’I A. Pengerrtian Hukum Wadh’i Adalah firman Allah SWT. Yang menuntut untuk menjadikan suatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari suatu yang lain. 1. contoh firman Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain Artinya : ‘’ dirikan shalat sesudah matahari tergelincir’’ (Qs.Al-Isra : 78) Pada ayat tersebut, tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibnya shalat. 2. contoh firman Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai syarat : Artinya :‘’ dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin(dewasa)’’ (Qs. An-Nisa’ : 06) Ayat tersebut menunjukkan kedewasan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya. 3. contoh firman khitab Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang Artinya :‘’ pembunuh tidak dapat warisan’’. Hadits tersebut menunjukan penghalang untuk mendapatkan warisan. Dari pengertian hukum wudh’i tersebut di tunjukkan bahwa macam-macam hukum Wadh’I, yaitu: sebab, syarat, mani’ (penghalang). B. Macam-macam Hukum Wadh’i 1. Sebab Menurut bahasa adalah suatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Menurut istilah adalah suatu sifat yang di jadikan suatu syara’ sebagai adanya hukum.Dengan demikian terliahat keterkaitan hukum wadh’I dengan hukum taklifi.Hukum wadh’I hanya sebagai petunjuk untuk pelaksanaan hukum taqlifi. Tetapi para ulama’ fiqih menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash, buakan dari manusia, 2. Syarat Yaitu suatu yamg berada di luar hukum syara’, tapi keberadaan hukum syara’ bergantung padanya.Apabila syarat tidak ada maka hukum tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.Oleh sebaba itu hukum taqlifi tidak bisa diterapaka, kecuali bilamemenuhi syarat yang telah ditetapkan syara’. 3. Mani’ (penghalang) Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan.Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan pembagian warisan. Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani’ sangat erat. Penghalang itu ada bersamaan dengan sebab dan terpenuhinya syarat-syarat. Syari’-syari’ menetapkan bahwa suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya, memenuhi syarat-syarat dan tidak ada penghalang(mani’) dalam melaksanakannya. 4. Shihhah Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak ada mani’misalnya, mengerjakan shalat zhuhur setelah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudhu (syarat), dantidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya.Dalam contoh ini pekerjakan yang dilaksanakan hukumnya sah.Oleh sebab itu, apabila sebab tidak ada dan syaratnya tidak terpenuhi maka shalat itu tudak sah sekalipun mani’nya tidak ada. 5. Bathil Yaitu terlepasnya hukum syara’ ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya.Misalnya, menjual belikan minuman keras.Akad dianggap batal, karna minuman keras tidak dipandang harta oleh syara’. 6. ‘Azimah dan Rukhsah ‘Azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula.Artinya, belum ada hukum sebelum hukum itu disyariatkan Allah. Perbedaan Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i Ada beberapa perbedaan antara hukum al-taklifi dengan hukum al-wadh’I yang dapat disimpulkan dari berbagai hukum di atas. Perbedaan yang dimaksud, antara lain adalah : 1. Dalam hukum al-taklif terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih perbuatan atau tidak berbuat. Dalam hukum al-wadh’I itu tidak ada melainkan mengandung terkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang, dan syarat. 2. Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanaka, ditinggalkan, melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedang hukum al-wadh’I tidak di maksudkan langsung di kerjakan atau di lakukan mukallaf.Hukum al-wadh’I di tentuakn syari’ agar dapat dilaksanakn hukum al-taklif.Misalnya, zakat itu hukumnya wajib (hukum al-taklifi). 3. Hukum at-taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakn atau meninggalkannya, karena dalan hukum at-taklif tidak ada kesulita (masqqah) dan kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf sedangkan dalam hukum al-wadh’I hal ini tidak di persoalkan, karena musaqqah dan haraj dalam hukum al-wadh’I adakalanya dapat dipikul mukallaf, adakalanya di luar kemampuan mukallaf. 4. Hukum at-taklif di tujukan kepada para mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal; sedangkan hukum al-wadh’I di tunjukkan kepada manusia mana saja, baik telah mukallaf maupun belum, seperti anak kecil dan orang gila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar