Rabu, 27 Juni 2012

Pengertian Bid’ah : Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bid’ah yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya , Allah ta’ala berfirman : yang artinya: -Allah pencipta langit dan bumi” (Al-Baqarah : 117) -Katakanlah, Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul”. (Al-Ahqaf : 9). Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluikun: 1. Perbuatan bid’ah itu ada dua bagian : Perbuatn bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK. Tapi ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah. 2. Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)”. Macam-macam Bid’ah Bid’ah dalam Ad-Dien (Islam) ada dua macam : 1. Bid’ah qauliyah ‘itiqadiyah : Bid’ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya , Allah ta’ala berfirman. 2. Bid’ah fil ibadah Bid’ah dalam ibadah : Seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah. Bid’ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu : A. Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu Mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan. B. Bid’ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar. C. Bid’ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama’ah dan suara yang keras. Hukum Bid’ah dalam Ad-Dien Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW Yang berbunyi: Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat“. (Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih). Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan tertolak. Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid’ahnya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya. Begitu juga bid’ah seperti bid’ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah. Ada juga bid’ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo’a disisinya. Ada juga bid’ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid’ah Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid’ah yang merupakan maksiat seperti bid’ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima’ (bersetubuh). وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا “Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).” Rasulullah SAW bersabda: (رواه البخاري و مسلم) مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
HIZBUT TAHRIR Hizbut Tahrir adalah sebuah partai untuk seluruh umat Islam. Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir. Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang di turunkan Allah dapat di berlakukan kembali. Berdirinya Hizbut Tahrir, sebagaimana telah disebutkan adalah dalam rangka memenuhi seruan Allah SWT, “Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat.” Dalam ayat ini, sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan umat Islam agar di antara mereka ada suatu jamaah (kelompok) yang terorganisasi. Kelompok ini memiliki dua tugas. Pertama, mengajak pada al-Khayr, yakni mengajak pada Islam. Kedua, memerintahkan kebijakan (melaksanakan syari’at) dan mencegah kemungkaran (mencegah pelanggaran terhadap syari’at). Oleh karena itu, tidak diperbolehkan organisasi-organisasi atau partai-partai politik yang ada di tengah-tengah umat Islam berdiri di atas dasar selain Islam, baik dari segi fikrah maupun Thoriqoh. Hal ini, disamping karena Allah telah memerintahkan demikian, juga karena Islam adalah satu-satunya mabda’ yang benar dan layak di muka bumi ini. Islam adalah mabda’ yang bersifat universal, sesuai dengan fitrah manusia, dan dapat di berikan jalan pemecahan kepada manusia secara manusiawi. Allah SWT telah mewajibkan umat Islam agar selalu terikat dengan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, baik menyangkut hubungannya dengan Pencipta mereka, seperti hukum-hukum yang mengatur akhlak, makanan, pakaian ataupun menyangkut hubungannya dengan manusia, seperti hukum-hukum yang mengatur masalah muamalat dan perundang-undangan. Allah juga telah mewajibkan umat Islam agar menerapkan Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan mereka, menjalankan pemerintahan Islam, serta menjadikan hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah, sebagai konstitusi dan sistem perundang-undangan mereka. Allah SWT berfirman: “Putuskanlah perkara di antara manusia berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (hukum Allah) yang telah datang pada kalian”. (QS al-Maidah (5):45). Oleh karena itu, Islam memandang bahwa tidak menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum Islam merupakan sebuah tindakan kekufuran, sebagaiman firman-Nya: “siapa saja yang tidak memutuskan perkara (menjalankan urusan pemerintahan) berdasarkan wahyu tang telah Allah di turunkan Allah, berarti mereka itulah orang-orang kafir”. (QS. al-Maidah (5):44). Semua mabda’ selain Islam sepperti kapitalime dan sosialisme (termasuk di dalamnya komunisme), tidak lain merupakan ideologi-ideologi tersebut destruktif ( rusak) dan beretentangan dengan fitrah kemanusian. Ideologi-ideologi tersebut adalah buatan manusia yang sudah nyata kerusakannya dan telah terbukti cacat-celanya. Semua ideologi yang ada selain Islam tersebut bertentangan dengan Islam dan hukum-hukumnya. Oleh karena itu, upaya mengambil dan menyebarluaskan serta dan membentuk organisasi berdasarkan ideologi-ideologi tersebut adalah termasuk tindakan-tindakan yang diharamkan oleh Islam. Dengan demikina, organisasi umat wajib berdasarkan Islam semata baik ide maupun metodenya. Hizbut Tahrir memiliki dua tujuan, yaitu melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam keseluruh penjuru dunia. Tujuan ini berarti mengajak umat Islam agar kembali hidup secara Islami di dar-al-Islam dan didalam lingkungan masyarakat Islam. Tujuan ini berarti pula menjadikan seluruh aktivitas kehidupan diatur sesuai dengan hukum-hukum syari’at serta menjadikan seluruh aktivitas kehidupan diatur dengan standar halal dan haram di bawah di dalam naungan dakwah Islam. Disamping itu, aktivitas Hizbut Tahrir di maksudkan untuk membangkitkan yang benar melalui pemikiran yang tercerahkan. Hizbut Tahrir berusaha untuk mengembalikan posisi umat Islam ke masa kejayaan dan keemasannya, yakni tak kala umat dapat mengambil alih kendala negara-negara dan bangsa-bangsa dunia. Hizbut Tahrir merima anggota dari kalangan umat Islam, pria maupun wanita, tanpa memperlihatkan lagi apaka mereka keturunan Arab atau bukan, berkulit putih atau hitam. Hizbut Tahrir menyerukan kepada umat untuk mengemban dakwah Islam serta mengambil dan menetapkan seluruh aturan-aturan tanpa memandang lagi ras-ras kebangsaan, warna kulit ataupun mazhab-mazhab mereka. Aktivitas Hizbut Tahrir adalah mengemban dakwah dalam rangka melakukan transformasi sosial di tengah-tengah situasi masyarakat yang rusak sehingga diubah menjadi masyarakat Islam. Upaya ini di tempuh dengan tiga cara: a. Mengubah ide-ide yang ada saat ini menjadi ide-ide Islam. Dengan begitu, ide-ide Islam diharapkan dapat menjadi opini umum di tengah-tengah masyarakat, sekaligus menjadi persepsi mereka yang akan mendororng mereka untuk merealisasikan dan mengaplikasikan ide-ide tersebut sesuai dengan tuntutan Islam. b. Mengubah perasaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat menjadi perasaan Islam. Dengan begitu, mereka diharapkan dapat bersikap ridlo terhadap semua perkara yang di ridlo oleh Allah, dan sebaliknya, marah dan benci terhadap semua hal yang dimurkai dan dibenci oleh Allah. c. Mengubah interaksi-interaksi yang terjadi ditengah masyarakat menjadi interaksi yang Islami,yang berjalan sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahan-peecahannya. Artinya, Hizbut Tahrir menyelesaikan urursan-urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum serta pemecahannya secara syar’i. Sebab secara syar’i, politik tidak lain mengurus dan memelihara urusan-urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahannya. Aktivitas-aktivitas Hizbut Tahrir yang bersifat politik ini tampak jelas dalam upayanya mendidik dan menimba umat dengan Tsaqofah (ide-ide) Islam agar umat meleburkan dirinya dengan Islam, membebaskan umat dari dominasi aiqdah-aqidah yang destruktif, pemikiran-pemikiran yang salah, dan persepsi-persepsi yang keliru, serta menyelamatkan umat dari pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan yang kufur. Sementara itu, perjuangan politik Huzbut Tahrir dapat terlihat dalam upanyanya menentang orang-orang kafir imperialis dalam rangka melepaskan umat Islam dari belenggu kekuasaan mereka, membebaskan umat Islam dari tekanan dan pengaruhya, serta mencabut akar-akar pemikiran, kebudayaan, politik, ekonomi, maupun militer dari seluruh negeri-negeri Islam. Hizbut Tahrir berusaha mengubah para pengusaha apabila mereka melanggar hak-hak umat atau mereka tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, juga apabila mereka melalaikan salah satu uurusan umat atau mereka menyalahi hukum-hukum Islam. Aktivitas Hizbut Tahrir secara keseluruhan merupakan aktivitas yang bersifat politik, baik dilingkungan sistem kekuasan yang tidak Islami ataupun didalam naungan sistem pemeritahan Islam. Artinya, aktivitas Hizbut Tahrir tidak hanya terbatas pada aspek pendidikan. Hizbut Tahrir bukanlah madrasah atau sekolahan. Partai ini juga tidak terfokus pada seruan-seruan dan nasihat-nasihat yang bersifat umum. Akan tetapi, aktivitasnya secara keseluruhan bersifat politis, Hizbut Tahrir berupaya menyampaikan ide-ide dan hukum-hukum Islam untuk di realisasikan, diemban, dan diwujudkan dalam realitas kehidupan umat dan negara. Hizbut Tahrir mengemban dakwah Islam agar Islam dapat diterapkan dalam realitas kehidupan agar aqidah Islam menjadi dasar negara dan sekaligus landasan konstitusi dan undang-undang. Sebab, aqidah Islam adalah aqidah yang bersifat rasional (aqidah aqliyah) dan sekaligus aqidah yang bersifat politis (aqidah siyasiyah), aqidah yang telah menderivasikan (menurunkan) aturan-aturan yang mampu menjadi solusi atas segenap problematika yang dihadapi manusia secara keseluruhan, baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial, dll. Hizbut Tahrir selama ini melakukan serangkaian pengkajian, penelitian, dan studi terhadap keadaan umat dan kemerosotan yang di deritanya. Pada saat yang sama, Hizbut Tahrir juga melakukan situasi masa Rasulullah SAW, masa Khulafaur Rosyidin, dan masa Tabi’in. Upaya ini dilakukan dengan senantiasa merujuk pada Sirah Rasulullah dan metode beliau dalam mengemban dakwah (sejak awal hingga beliau berhasil mendirikan Daulah Islam di Madinah), serta dengan melakukan studi tentang bagaimana perjalanan hidup beliau di Madinah untuk merujuk Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya serta apa yang ditujukan pada keduanya yaituijma’dan qiyas. Semua itu merupakan ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-hukum Islam, tidak ada satupun yang tidak Islami, tidak pula di pengaruhi oleh sesuatu yang tidak bersumber dari Islam. Partai ini senantiasa bersandar pada pemikiran (akal sehat) dalam menetapkan semua itu. Hizbut Tahrir telah memilih dan menetapkan ide-ide tersebut dengan ketentuan yang diperlukan dalam pejuangannya. Semua itu adalah dalam rangka melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, dengan cara mendirikan kembali dakwah khilafah dan mengangkat seorang khilafah. Ide-ide, pendapat-pendapat, dan hukum-hukum yang dipilih dan diterapkan oleh Hizbut Tahrir telah di himpun di dalam buku-buku (baik yangdijadikan sebagai materi pokok pembinaan ataupun sebagai materi pelengkap) dan sejumlah lembaran. Semua itu telah diterbitkan dan disebarkan di tengah-tengah umat. Contoh buku yang telah di terbitkan oleh Hizbut Tahrir: 1. Kitab Nizham al-islam (Islam struktural). 2. Kitab Nizham al-Hukm fi al-Islam (Sistem Pemerintahan Islam). 3. Kitab An-Nizam al-Iqtishadi (Sistem Ekonomi Islam). 4. Kitab An-Nizham al-ijtima’ fi al-Islamn (Sistem Pergaulan Pri-Wanita dalam islam). 5. Kitab Asy-Ayakhsiyyah al-Islamiyyah 9 membentuk Kepribadian islam, tiga jilid). Disamping itu, terdapat ribuan selebaran-selebaran, buklet-buklet, dan diktat-diktat (surat-surat terbuka kepada para penguasa dan pemimpin gerakan politik) yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir sejak berdirinya sampai sekarang.
Rela pada sesuatu berarti rela terhadap konsekwensi yang ditimbulkannya. Ajaran syariat merupakan media pemadu bagi umat manusia agar senantiasa berada di jalan yang benar dalam menjalani kehidupan ini. Karena itu ajaran syariat selalu menyentuh seluruh aspek kehidupan; kapanpun, di manapun, dan dalam bentuk apapun.semua mempunyai teknis ‘pelaksanaan’ sesuai panduan syariat. Di antara ajaran syariat adalah agar umat manusia selalu berbuat sesuatu berdasarkan keyakinan kuat dan denagn penuh tanggung jawab. Menusia harus mempunyai komitmen kuat terhadap apa yang telah ia putuskan dan ia lakukan . konsekwensi ynag timbul akibat keputusan dan perbuatannya harus diterim, baik sifat positif atau negatif. Secara inmplisit, kaidah ini mengingatkan kita agar berhati-hati dalam menentukan sikap, sebab, ketika seseorang menyatakan rela atau setuju, maka konsekwensinya harus rela menanggung akibat yang ditimbulkan oleh pernyataan itu. Kerelaan dan persetujuan yang dikehendaki dalam kajian ini mengakomodir sagala motif yang memiliki oriantasi persetujuan, kerelaan, pengesahan, perizinan, dan lain sebagainya. Kerelaan bisa berasal dari siapa saja dan berupa apa saja. Bisa berbentuk pertanyaan resmi, sikap permisif (memberi ijin), pengesahan (legalisasi), atau bisa pula berupa hal-hal yang diperlakukan dilegitimasi oleh syariat. Kadang-kadang persetujuan itu berupa tidak adanya penolakan atau tidak hanya komentar yang kemudian menimbulkan sikap persetujuan. Titik tekannya terletak pada adanya izin atau legitimasi atas hal yang dikerjakan. Oleh karena itu, kaedah di atas dalam beberapa literatur ditampilkan dalam menggunakan redaksi berbeda. المتولد من ماْ ذون فية لا اْ ثر لة Hal-hal yang timbul dari sesuatu yang telah mendapat izin tidak akan menimbulkan dampak apapun Dampak (atsar) yang tidak dihiraukan dalam kontek ini dapat secara luas diterapkan dalam berbagi permasalahan, di antaranya dapat kita lihat dalam ilustrasi berikut : 1. Seorang calon suami yang rela akan ‘ayb yang diderita oleh calan istri, menurut satu pendapat (qwal shahih), tida dibenarkan menceraikan istrinya, walaupun di kemudian hari ‘ayb yang dideritanya semakin parah. Sebab, apa yang menimpa istrinya sudah diterima dengan lapang dada sejak semula. Hal yang sama berlaku sebaliknya; sang istri tidak dapat mengajukan talak gara-gara ‘yb yang diderita sang suami semakin parah. 2. Pelaksanaan eksekusi vonis pengadilan atas terdakwah. Pelaksanaan qishash memotong tangan bagi pencuri, misalkan jika menibulkan penularan penyakit ke seluruh tubuh, maka sang algojo tidak dibebani tanggung jawab, karena pemotongan yang dilakukan algojo adalah dalam kerangka menjalankan ketentuan undangan-undangan. Hal yang sama berlaku bila orang yang dipotong tangannya ternyata mati setelah eksekuasipemotongan selesai; sang alsang algojo tidak bertanggung jawab karena apa yang dilakukannya untuk menjalankan keputusan undang-undang. IZIN DALAM TRANSAKSI GADAI Kondisi ekonomi yang semakin sulit memaksa andi untuk mengadaikan sepeda miliknya kepada temannya yang bernama taufiq. Terpaksa jalan ini ia tempuh setelah ia merasa putus asa mencari pinjaman modal usaha. Semenjak sepdanya di gadaikan pada taufiq andi merasa kesulitan untuk pergi kerja. Karena itu, ia memberanikan diri untuk meminta izin kepada Tawfiq untuk di perbolehkannya meminjam sepeda sehari saja. Terdorong rasa iba, Taufiq pun mempersilahkannya. Tanpa diduga, sepeda tersebut hilang. Lantas, bagaimana kelanjutan transaksi gadai yang telah berlangsung. Imam al-Suyuthi, sebagaimana disetujui oleh al-Zarkasyih, Syaikh Yasin al-Fadani, dan beberapa ulama lainnya, menetapkan bahwa transaksi tersebut menjadi batal (infisakh), namun Andi sebagai penggadai (rahin) tidak dibebani sama sekali ganti rugi kepada taufiq.Sebab, kerusakan motor merupakan akibat dari izin dari Tawfiq selaku penerima gadai (murthahin). Yang menarik dari contoh di atas adalah mencari hubungan antara tidak adanya kewajiban membayar ganti rugi (dhoman) dengan rusaknya transaksi gadai. Sesuai pesan kaedah, bisa kita pahami, bahwa kerukan moto dampak (al-mutawallad) dari perbuatan andi yang mendapat izin (al-mu’dzun fih), sehingga mestinya ketentuan yang di terapkan adalah tidak ada berdampaknya kerusakan terhadap Andi. Namun, ketetapan yang diberlakukan adalah batalnya transaksi. Apa keterkaitannya keduanya. Pada dasarnya, transaksi gadai (rahn) dapat disebut transaksi final (luzum) jika barang gadainya (marhun) telah berada di tangan penerima gadai. Setelah taransaksi disepakati kedua belah pihak (luzum, maka tidak dibenarkan membatalkan transaksi tersebut. Jika setelah itu, tanpa sepengetahuan penerima gadai, penggadai melakukan sesuatu terhadap bbarang gadai yang berakibat hilangnya hak milik atas barang tersebut,seperti hilang,diwakofkan, disedahkan dan lain sebagainy, maka maka transaksi menjadi batal dan harus ada ganti rugi. Dalam contoh sebelumnya, kerusakan tersebut tentu jadi batalnya transaksi gadai. Meskipun begitu, karena kerusakan disebabkan oleh perbuatan yang telah mendapat restu dari Taufiq (penerima gadai), maka andi tidak di haruskan menanggung ganti rugi, meskipun transaksinya menjadi batal (infisakh) dengan sendirinya. Dalam konteks serupa, dapat kita temukan contoh mudah dalam penggadaian hewan ternak, seperti sapi. Jika setelah transaksi berlangsung pihak penggadai memanfaatkan sapi tersebut untuk membajakmsawah atas seizin penerima gadai, lalu sapi tersebut mati karna digunakan bekerja, maka transaksi menjadi batal dan pihak penggadai tidak harus membayar ganti rugi, karena ia telah mendapat izin dari penerima gadai. PENGECUALIAN Kaidah ini tidak dapat diberlakuakan dalam aktivitas yang disyaratkan untuk menjaga keselamatan dari akibat yang memungkinkan di timbulkan(salama al-aqibah). Dalam arti, jika terjadi efek yang merupakan dampak dari perbuatan yang seharisnya dapat di hindari, maka kerelaan, izin, atau legalitas yang diberikan tidak begitu saja menjadi ditolerirnya akibat yang ditimbulkan. Untuk memudahkan pemahaman,kita cermati contoh berikut: » Sseorang guru yang menghukum (ta’zir) murit yang melakukan pelanggara, dan telah mendapat izin sang wali. Jika ta’zir itu sangat berat, hingga menimbulakan dampak yang dapat diduga sebelumnya, yakni meninggal dunia, maka ta’zir tersebut harus dipertanggungjawabkan (dhaman). Perlu dicatat, ta’zir adalah hal yang direstui oleh syariaat. Tapi, dalam kasus ini, sng guru wajib bertanggungjawab, karena seberapa izin yang diperbolehkan seorang guru; dari wali murid maupun dari syariat, tetaplah terbatas pada keteentuan menjaga keselamatan dampak yang mungkin timbul (salamt al-aqibah). Dari contoh di atas sedikit memberi satu titik simpul, pada dasarnya selain memberi ta’zir, seorang guru atau sumi masih bisa menjatuhkan hukuman lain yang lebih manusiawi, misalnya menesehati, memberi contoh teladan, mengingatkan, menyindir, memarahi dan lain sebagainya. Apabila ada dugaan kuat bahwa nasehat tidak bisa membuat jera, maka sang guru baru men-ta’zir. Meski demikian, ta’zir tersebut tetap harus dilakukan dengan cara yang tidak membahayakan. Di samping atau ganti rugi (dlaman) atas dampak yang ditimbulkannya.
Hiwalah A. Pengertian Hiwalah adalah bentuk masdar dari hawala, yang artinya menurut etimology adalah memindahkan atau mengalihkan. Abdurrahaman al-Jazairi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa: “Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain” Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah, para ulama’ berbeda-beda dalam mendifinisikannya, antaralain sebagai berikut: 1. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah: “Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.” 2. Al-Jazairi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah ialah: “Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi menjadi tanggung jawab orang lain.” 3. Syihab Al-Din Al-Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah ialah: “Akat yang menetapkan pemindahan utang dari seseorang ke orang lain.” 4. Muhammad Syatha al-Dimyti berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah ialah: “Akat yang menetapkan pemindahan utang dari beban sesorang menjadi beban orang lain.” 5. Ibrahin al- Bajuri berpendapat hiwalah ialah: “Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan.” 6. Menurut Taqiyudin hiwalah ialah: “Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.” 7. Menurut Idris Ahmad, hiwalah ialah semacam akat pemindahan utang tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang itu punya utang pada orang yang memindahkannya.” Pada dasarnya semua definisi di atas hampir sama, perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa madzhab Hanafi menekankan dari segi kewajiban membayar hutang, sedangkan ketiga madzhab lain menekankan pada hak pembayarann hutang. B. Dasar Hukum Hiwalah dan Akibat Hukum Hiwalah Dasar hukum hiwalah Hiwalah sebagai salah satu bentuk ikatan atau transaksi antar sesama manusia yang dibenarkan oleh Rasulullah SAW, dalam sabda Nya beliau menyatakan: “ Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan orang kaya merupakan perbuatan Dzolim. Jika salah seorang kamu di alihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih. (H.R. Bukhari Muslim) Disamping itu terdapat kesepakatan ulama’ (ijma’) yang menyatakan tindakan hiwalah boleh dilakukan. Akibat hukum hiwalah Jika akad hiwalah telah terjadi, maka timbul akibat hukum dari akad tersebut: a. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayar hutang kepada pihak kedua secara otomatis menjadi terlepas. Sedangkan menurut sebagian ulama’ madzhab Hanafi, di antaranya ialah Kammal bin Hummam menyatakan, bahwasanya kewajiban tersebut masih tetap ada, selama pihak ketiga belum melunasi hutangnya kepada pihak kedua, karena sebagaimana disebutkan sebelumnya. Mereka memandang bahwa akad tersebut didasarkan atas prinsip saling percaya, bukan prinsip pengalihan hak dan kewajiban. b. Akad hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang kepada pihak ketiga. c. Madzhab Hanafi yang membenarkan terjadinya hiwalah al-mutlaqah berpendapat bahwa jika akad hiwalah al-mutlaqah terjadi karena inisiatif dari pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga yang mereka tentukan ketika akad hutang piutang sebelumnya masih tetap berlaku, khususnya jika jumlah hutang piutang antara ketiga pihak tidak sama. C. Rukun dan Syarat Hiwalah Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu, yaitu ijab dan Kabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. Syarat-syarat hiwalah menurut hanafi ialiah: 1. orang yang memindahkan utang (muhilf) adalah orang yang berakal, batal hiwalah yang dilakukan muhil dalam keadaan gila atau masi kecil. 2. Orang yang menerima hiwalah (rah al-dayn) adalah orang yang berakal, maka batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang berkal. 3. Orang yang dihiwalahkan (maha ‘alah) juga harus orang berakal dan disyaratkan pula dia meridhainya. Menurut Syafi’iyah, rukan hiwalah itu ada empat, sebagai berikut: 1. Mahil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan utang. 2. Muhtal, yaitu orang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai utang pada muhil. 3. Muhal ‘alah yaitu orang yang menerima hiwalah. 4. Sighat hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya; “aku hiwalahkan utangku yang haq bagi engkau kepada anu” dan Kabul dari muhtal dengan kata-katanya. “aku terima hiwalah engkau” Syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabiq adalah sebagian berikut. 1. Relanya pihak mihil dan muhal tanpa muhal ‘alah jadi yang harus rela itu muhil dan muhal ‘alah. 2. Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesayannya, tempo waktu, kualitas, dan kuantitas. 3. Stabilnya muhal ‘alah, maka penghiwalahan kepada seorang yang tidak mampu membayar hutang batal. 4. Hak tersebut diketahui secara jelas. D. Manfaat Hiwalah Akad Hawalah dapat memberikan beberapa manfaat dan keuntungan, diantaranya: 1. Memungkinkan penyelesaian hutang piutang dengan cepat. 2. Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan. 3. Dapat menjadi salah satu fee-based income/sumber pendapatan non pembiayaan bagi bank syari’ah. Adapun resiko yang harus diwaspadai dalam kontrak hiwalah yaitu adanya kecurangan nasabah dengan memberi keterangan palsu atau wanprestasi/ingkar janji untuk memenuhi kewajibannya. E. Hukum Hiwalah Hukum Hiwalah bisa berbeda-beda tergantung kondisinya: 1. Sunnah, dengan syarat muhal ‘alaih mempunyai kemampuan untuk membayar, tepat janji dan tidak ada syubhat (tidak diragukan akan kehalalan hartanya). 2. Haram, apabila hartanya jelas keharamannya. 3. Makruh, apabila hartanya masih diragukan keharamannya. F. Catatan Jual Beli Hutang yang Diperbolehkan Menurut al-ashah akad hawalah adalah termasuk jual beli hutang dengan hutang. Maksudnya hutang yang menjadi tanggungan muhil (orang yang punya hutang kepada muhtal) dijual dengan hutang yang menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang punya hutang kepada muhil). Pada dasarnya jual beli hutang dengan hutang tidak diperbolehkan. Namun berdasarkan hajat/kebutuhan dalam akad hawalah diperbolehkan. Pengecualian ini adalah rukhsah (keringanan) tersendiri dalam akad hawalah, karena itu tidak disyaratkan taqabudh fi al-I majlis (serah terima barang di tempat terlaksananya akad) jika hutang yang dijual belikan tersebut berupa barang ribawi. Hawalah dalam Jasa Wesel/Transfer Jasa transfer (wesel): jika seseorang menyerahkan sejumlah uang untuk ditransfer pada orang yang ada di negara A, maka bila memberikannya atas dasar amanah/kepercayaan, maka hukumnya boleh. Pihak yang menerima amanah untuk mentransfer sejumlah uang tersebut tidak berkewajiban mengganti jika tidak ada unsur kelalaian dalam menjaganya dan tidak mencampur dengan hartanya sendiri. Akan tetapi, bila dicampur maka dia berkewajiban mengganti sejumlah uang tersebut di atas. Hal ini pada masa sekarang dikenal dengan sebutan jasa transfer via pos/wesel (al-hawalah al-baridiyah). Sejumlah uang yang disetorkan kepada petugas pos/LKS (Lembaga Keuangan Syari’ah) untuk ditransfer kepada orang tertentu dicampur dengan uang yang lain, kemudian uang yang diserahkan kepada orang yang dituju bukanlah uang yang diserahkan semula, maka atas dasar itu uang tersebut menjadi madhmunah (tanggungan) pihak pos/petugas LKS. Jadi, pihak pos/LKS bertanggung jawab sepenuhnya atas uang tersebut. G. Beban Muhil setelah Hiwalah Apabila hiwalah berjalan sah,dengan sendirinya tanggungan muhil gugur. Andai muhal ‘alah mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali pada muhil, ini pendapat jumhur. H. Berakhirnya Hukum Hiwalah Para ulama’ fiqih mengemukakan bahwa akad hiwalah akan berakhir apabila : a. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu membatalkan akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap, dengan adanya pembatalan akad itu, pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran hutang kepada pihak pertama. Demikian pula pihak pertama kepada pihak ketiga. b. Pihak ketiga melunasi hutang yang di alihkan kepada pihak ketiga. c. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua. d. Pihak kedua menghibahkan, atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad hiwalah itu kepada pihak ketiga. e. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar hutang yang di alihkan itu. f. Pihak ketiga mengalami kebangkrutan.
HUKUM SYARA’ DAN UNSUR-UNSURNYA A. HUKUM 1. Pengertian Hukum Mayoritas ulama; usul fiqih mendefinisikan hikum sebagai berikut: “ Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperative,fakulatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang “ Yang dimaksud Khitob Allah dalam definisi tersebut adalah semua bentuk dalil, baik Al-Quran, As-sunnah maupun yang lain. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil hanya Al-Quran dan As-Sunnah.Adapun ijma’ dan qias hanya sebagai metode menyingkapkan hukum dari Al-Quran dan Sunahtersebut. Yang di maksud perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakalsehat meliputi perbuatan hati, seperti niat dan perbuatan ucapan, seperti ghibah (mengunjing) dan namimah. 2. Pembagian hukum Bertolak belakang dengan hukum diatas, maka hukum menurut ulama’ usul terbagi dalam dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. a. Hukum taklifi  Pengertian Hukum Taqlifi Hukum taqlifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan, dan pilihan untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkan.Contoh hukum shalat, membayar zakat. Sedangkan hukum yang melarangan, seperti memakan harta anak yatim sesuai firman Allah: “Dan janganlah kamu dekati anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat”  PEMBAGIAN HUKUM TAQLIFI Pembagian hukum taqlifi itu terbagi menjadi lima, yaitu: Wajib, Makruh, dan Mubah. Pendapat ini menurut jumhur. Sedang menurut Hanafi hukum taqlifi terbagi 7: Fardhu, Wajib, Mandhub, Makruh tahrim, Makhruh tanzih, Haram dan Mubah. a) WAJIB wajib itu identik dengan fardhu. Wajib adalah suatu perintah yang harus dikerjakan dimana orang yang meninggalkannya berdosa .misalnya, dalam surat An-Nur : 56 artinya :‘’Dan dirikanlah sholat tunaikan zakat’’(QS.An-Nur : 56) sebagian ulama’ madhab Hanafi ada yang menyebut perbuatan wajib sebagai fardhu ‘amali seakan-akan fardhu menurut mereka fardhu terbagi menjadi 2 : 1. fardhu dalam keyakinan dan amal (perbuata), yaitu fardhu yang berdasarkan dalil qath’i. 2. fardhu dalam perbuatan saja, yaitu fardhu yang berdasarkan dalil zahanni. Haram Haram adalah larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan, baik yang telah ditetapkan dengan dalil yang qath’I maupun dalil zhanni. Keterangan tersebut merupakan pendapat jumhur.Menurut pendapat Hanafi, hukum haram harus didasarkan pada dalil qath’I yang tidak mengandung keraguan sedikitpun. Seperti firman Allah: “ Dan jangan kau mengatakan terhadap yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ ini halal dan ini haram “ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah, tiadalah beruntung. Dasar yang dijadikan landadsan hukum haram adalah karena adanya bahaya yang nyata yang tidak diragukan lagi. Setiap perbuatan yang diharamkan syara’ pasti mengandung bahaya,sedangkan perbuatan yang diperbolehkan syara’ pasti mengandung perbuatan kemanfaatan . Hukum haram terbagi menjadi dua bagian : 1. Haram li-dzatih : yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah, karena bahaya tersebut terdapat dalam perbuatan tersebut. Seperti makan bangkai, minuman keras, dll. Perbuatan yang diharamkan li-dzatih adalah bersentuhan langsung dengan salah satu yang diharamkan. Sedangkan yang dimaksud dharury ialah sesuatu yang mana penjagaan terhadap salah satu hal itu. 2. Haram li-ghoirihl’ aridhi : yaitu perbuatan yang dilarangoleh syara’, dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri tetapi, perbuatan tersebut dapat menimbulkan haram li-dzati seperti melihat aurat perempuan, dan menimbulkan perbuatan zinah. b) MANDUB Mandub adalah perbuatan yang dianjurkan oleh sara’. Atau suatu perintah, yang apabila dilaksanakan maka akan diberi pahala, jika ditinggalkan tidak akan di siksa. Mandub itu mempunyai beberapa macam yaitu : 1.sunah mu’akkad, yaitu suatu sunah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu, namun beliau menjelaskan bahwa hal tersebut bukan fardhu yang harus di kerjakan. Seperti shalat Witir, shalat dua rakaat sebelum shubuh. Termasuk sunah mu’akkadah Jumhur fukoha’ ialah nikah bagi orang yang mampu dan dalam keadaan normal. 2. Sunah ghoiru mu’akkad : yaitu sunah yang Tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu. Seperti shalat empat rakaat sebelum zhuhur. 3. Sunah yang tingkatannya dibawah dua tingkatan diatas. Sunah ini ialah mengikuti adat kebiasaan Rasulullah SAW yang tidak ada hubungannya dengan tugas tabligh(penyampaiian ajaran) dari Allah, atau penjelasan terhapat hukum sara’. Seperti cara berpakaian, makan dan minumnya Rasulullah SAW, memelihara jenggot, mengunting(merapikan) kumis yang semuannya ini merupakan adat kebiasaan yang baik. Yang di tuntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dati tuntut itu disebut nadb misalnya, dalam surat Al-Baqarah : 282. Artinya :‘’orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.’’ (QS Al-baqarah : 282). c) Mubah Mubah ialah suatu hukum, dimana Allh SWT memberikan kebebasan kepada orang mukalaf untuk memilih antara mengerjakan suatu perbuata-perbuatan atau meninggalkan.‘’ Mubah ialah suatu perbuatan yang apabila dikerjakan atua ditinggalkan sama-sama tidak memperoleh pujian pendapat itu menurut Imam Asy-Syaukani seperti makan, minum, bergurau, dan sebagainya. Dari sini dapat diketahui bahwa mubah di kategorikan adalah suatu perbuatan yang pada mulanya di haramkan, tetapi karna ada suatu factor yang menyababkan halalkan, maka akhirnya hal tersebut di perbolehkan.Seperti membunuh orang yang murtad, dilihat dari segi kemanusiaan, orang itu haram dibunuh. Tetapi karna ia murtad, maka hilanglah keharaman tersebut. Dan menganbil mas kawin yang tealah diberikan kepada istri hukumnya haram. Berdasarkan firman Allah Artinya : ‘’ dan jika kamu ingin mengganti istrimu dangan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu menganbil dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan dosa yang nyata (Qs. An-Nisa’ : 20). BAB II B. HUKUM WADH’I A. Pengerrtian Hukum Wadh’i Adalah firman Allah SWT. Yang menuntut untuk menjadikan suatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari suatu yang lain. 1. contoh firman Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain Artinya : ‘’ dirikan shalat sesudah matahari tergelincir’’ (Qs.Al-Isra : 78) Pada ayat tersebut, tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibnya shalat. 2. contoh firman Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai syarat : Artinya :‘’ dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin(dewasa)’’ (Qs. An-Nisa’ : 06) Ayat tersebut menunjukkan kedewasan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya. 3. contoh firman khitab Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang Artinya :‘’ pembunuh tidak dapat warisan’’. Hadits tersebut menunjukan penghalang untuk mendapatkan warisan. Dari pengertian hukum wudh’i tersebut di tunjukkan bahwa macam-macam hukum Wadh’I, yaitu: sebab, syarat, mani’ (penghalang). B. Macam-macam Hukum Wadh’i 1. Sebab Menurut bahasa adalah suatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Menurut istilah adalah suatu sifat yang di jadikan suatu syara’ sebagai adanya hukum.Dengan demikian terliahat keterkaitan hukum wadh’I dengan hukum taklifi.Hukum wadh’I hanya sebagai petunjuk untuk pelaksanaan hukum taqlifi. Tetapi para ulama’ fiqih menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash, buakan dari manusia, 2. Syarat Yaitu suatu yamg berada di luar hukum syara’, tapi keberadaan hukum syara’ bergantung padanya.Apabila syarat tidak ada maka hukum tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.Oleh sebaba itu hukum taqlifi tidak bisa diterapaka, kecuali bilamemenuhi syarat yang telah ditetapkan syara’. 3. Mani’ (penghalang) Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan.Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan pembagian warisan. Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani’ sangat erat. Penghalang itu ada bersamaan dengan sebab dan terpenuhinya syarat-syarat. Syari’-syari’ menetapkan bahwa suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya, memenuhi syarat-syarat dan tidak ada penghalang(mani’) dalam melaksanakannya. 4. Shihhah Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak ada mani’misalnya, mengerjakan shalat zhuhur setelah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudhu (syarat), dantidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya.Dalam contoh ini pekerjakan yang dilaksanakan hukumnya sah.Oleh sebab itu, apabila sebab tidak ada dan syaratnya tidak terpenuhi maka shalat itu tudak sah sekalipun mani’nya tidak ada. 5. Bathil Yaitu terlepasnya hukum syara’ ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya.Misalnya, menjual belikan minuman keras.Akad dianggap batal, karna minuman keras tidak dipandang harta oleh syara’. 6. ‘Azimah dan Rukhsah ‘Azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula.Artinya, belum ada hukum sebelum hukum itu disyariatkan Allah. Perbedaan Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i Ada beberapa perbedaan antara hukum al-taklifi dengan hukum al-wadh’I yang dapat disimpulkan dari berbagai hukum di atas. Perbedaan yang dimaksud, antara lain adalah : 1. Dalam hukum al-taklif terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih perbuatan atau tidak berbuat. Dalam hukum al-wadh’I itu tidak ada melainkan mengandung terkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang, dan syarat. 2. Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanaka, ditinggalkan, melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedang hukum al-wadh’I tidak di maksudkan langsung di kerjakan atau di lakukan mukallaf.Hukum al-wadh’I di tentuakn syari’ agar dapat dilaksanakn hukum al-taklif.Misalnya, zakat itu hukumnya wajib (hukum al-taklifi). 3. Hukum at-taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakn atau meninggalkannya, karena dalan hukum at-taklif tidak ada kesulita (masqqah) dan kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf sedangkan dalam hukum al-wadh’I hal ini tidak di persoalkan, karena musaqqah dan haraj dalam hukum al-wadh’I adakalanya dapat dipikul mukallaf, adakalanya di luar kemampuan mukallaf. 4. Hukum at-taklif di tujukan kepada para mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal; sedangkan hukum al-wadh’I di tunjukkan kepada manusia mana saja, baik telah mukallaf maupun belum, seperti anak kecil dan orang gila.
Al-Mujmal A. Pengertian Al-Mujmal Pengertian al-Mujmal hampir delapan pulu persen penggalian hukum syar’i menyangkut lafad. Agar tidak membingungkan pelaku hukum, maka lafadz yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas, kenyataannya petunjuk (dilalah) lafadz yang terdapat nash syara’ itu beraneka ragam, bahkan ada yang kurang jelas (khafah). Suatu lafad yang tidak mempunyai kemungkinan mk’na lain disebut mubayyan atau nash. Bila ada dua makna atau lebih tanpa di ketahui yang lebih kuat disebut mujmal. Namun bila ada makna yang lebih tegas dari makna yang lebih tegas dari makna yang ada disebut zhahir. Dengan demikian yang disebut Al-Mujmal secara bahasa ialah : samar-samar. Secara istilah berarti: lafadz yang maknanya yang tergantung pada lainnya, baik dalam menentukan salah satu maknanya baik dalam menentukan salah satu maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya. Sifat mujmal itu dapat terjadi pada kosa (mufradat). Contoh : lafat yang masi memerlukan lainnya untuk menentukan makna: kata “rapat” misalnya dalam bahasa indonesia memiliki dua makna : perkumpulan dan tidak ada celah. Sedangkan dalam al-Qur’an misalnya surah al-Baqarah: 228 وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ …… Kata “قُرُوءٍ” dalam ayat ini bisa berarti: suci atau haid. Sehingga untuk menentukan maknanya membutuhkan dalil yang lain. Contoh : lafadz yang membutuhkan lainnya dalam menjelaskan tatacaranya. Surah An-Nur : 56 وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ Kata “mendirikan shalat” dalam ayat di atas masih mujmal/belum jelas karena tidak diketahui tatacaranya, maka butuh dalil lalinya untuk memahami tatacaranya. Begitupula ayat Haji dan Puasa. Hukum melakasanakan lafadz mujmal bergantung pada bayan atau penjelasan. Demikian juga ada teori para ulama’ tentang tingkat kejelasan lafadz dan cara memadukan antara tingkat-tingkat jelas tidak suatu lafadz hal ini akan di uraikan lebih lanjut : a. Tingkatan lafadz dari segi kejelasannya. Ada dua kelompok pendapat tentang tinkat dilalah Lafadz dari segi kejelasan, golongan hanafiyah dan golongan mutakalimin. Masing-masing di gambarkan sebagai berikut : Pembagian lafadz itu sebenarnya dilihat dari segi mungkin dan tidak mungkinnya di takwil ataudi nasakh. Dilihat dari perinkat kejelasan lafadz itu menurut golongan Hanafiyah, dimulai dari yang jelas bersifat sederhana (zhahir), cukup jelas (nash), b. Pembagian lafadz dari segi Kejelasannya menurut ulama’ Hanafiyah 1. Zahir ialah : suatu nam bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafadz itu sendiri. Namun, lafazh itu tetap mempunyai kemungkinan lain, sehingga muhammad adip salih menyimpulkan bahwa zahir itu adalah suatu lafazh yang menunjukkan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa menunggu qorinah yang ada di luar lafazh itu sendiri, namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh. Contoh:”dan allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Masing-masing dari lafazh al-Bay’ dan ar-Riba yang mempunyai kemungkinan di takhsis. Kedudukan lafazh zahir adalah wajib diamalkan sesuai petunjuk lafazh itu sendiri sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, mentakwilnya, mennasakhnya. 2. Nasakh mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicaraan sendiri yang bisa diketahui dengan qorinah. Menurut bahasa, nasakh adalah raf’u asy-syai atau munculnya segala sesuatu yang tampak, sering disebut manashahat, menurut istilah ialah suatu lafazh yang maknanya lebih jelas dari pada zahir bila ia dibandingkan dengan lafazh zahir. Kedudukan lafazh nash : hukum lafazh zahir, yaitu wajib diamalkan petunjuknya atau dilalahnya asal tidak ada dalil yang menakwilnya. Perbedaan antara zahir dan nash kemungkinan takwil, takhsis atau nasakh pada lafazh nasakh lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafazh zahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh zahir dan lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh zahir pada lafazh nash. 3. Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas dilalah mufassar wajib diamalkan secara Qath’i sepanjang tidak ada dalil yang menasakhnya. Apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan dilalah nash dan zahir maka dilalah mufasaar harus didahulukan. Lafazh mufassar tidak mungkin dipalingkan dari maknanya karena tidak mungkin di takwil dan di takhsis melainka hanya bisa dinasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya. 4. Muhkam yaitu pasti dan tegas secara istilah muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh. C. Pengertian Mubayan Mubayan adalah : yang dinampakkan dan yang dijelaskan, secara istilah berarti lafadz yang dapat dipahami maknanya berdasar awalnya atau setelah dijelaskan oleh lainnya. Contoh lafadz yang dapat dipahami berrdasar awalnya. Misal kata langit, bumi, adil, dhalim dan sejenisnya kata-kata ini dapat dipahami berdasar asal awal terjadinya seperti itu. D. Kaidah al-Mujmal Wajib bagi orang mukallaf untuk mengamalkan yang mujmal manakalah ada dalil yangmenjelaskannya dari kemujmal.
BANK PERKREDITAN RAKYAT MENURUT ISLAM A. Pembahasan Masalah Lahirnya Bank Muamalah Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat (BPRS) yang dipakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) diharapkan dapat membantu pengembangan industri kecil yang termasuk golongan ekonomi lemah. BMI dan BPRS adalah bank Islam. Operasionalisasi Bank Islam didasarkan pada ajaran Al-qur’an dan sunah Rasul, yang dalam operasinya menggunakan sistem bagi hasil, ternyata mempunyai keunggulan jika dibandingkan dengan operasi Bank ”konvensional” yang ada. BMI yang beroperasi sejak tanggal 1 Mei 1992, menurut penilaian Bank Indonesia selaku Bank Sentral, dinyatakan cukup baik dan sehat. Pada neraca rugi/laba per 31 Desember 1993 yang dilaporkan harian Republika tanggal1 Februari 1994 menyebutkan bahwa laba yang diraih sebesar Rp.3.877.000.000,-. Dengan beroperasinya BMI dan BPRS membuktikan bahwa ajaran Islam dapat dioperasikan dibidang ekonomi dan keuangan yang sudah ada. Walaupun namanya pelengkap diharapkan dapat membantu mengatasi kesenjangan pendapatan diantara warga masyarakat golongan ekonomi lemah. Banyak pihak yang masih meragukan keberhasilan operasi Islam yang didasarkan bagi hasil dan tanpa bunga. Apabila kita perhatikan di Negara maju, suku bunga mempunyai peranan penting baik pada tingkat makro maupun mikro. Menurut teori ekonomi konvensional, bunga adalah merupakan keuntungan yang diterima oleh penabung karena menahan diri atau menangguhkan untuk tidak menggunakan miliknya, dan merupakan harga yang dibayar oleh peminjam yang lebih dahulu menggunakan dana tersebut. Namun apabila menggunakan perkembangan Bank Islam didunia, ternyata memberikan rasa optimis pada kaum muslimin, sebab Bank Islam tidak saja hanya tumbuh di kawasan dunia Islam, tetapi juga dikawasan non-Islam. Pada atahun 1994 diperkirakan terdapat sekitar 38 buah Bank Islam di dunia, dan sepuluh diantaranya berada diluar Arab, Negara-negara tersebut adalah Sudan, Mesir, Sinegal, Mauritania, Nigeria, Malasyia, Guinea. Sedang Negara-negara non-Islam terdapat di Luxemburg, Swiss, Denmark, Inggris, Afrika Selatan, Bahama dan Pilipina. 1. Produk Bank Fiqih Muamalah A. Produk Bank Konvensional Kegiatan usaha bank dalam melakukan penghimpunan dana masyarakat maupun dalam penyaluran dan dilakukan melalui produksi jasa keuangan. Hal ini karna produksi jasa keuangan dan bank dapat mempengaruhi peredaran uang di masyarakat, serta berpengaruh terhadap perekonomian. Oleh karna itu, produk jasa keuangan bank diatur oleh peraturan yang sifatnya mengikat dalam kegiatan oprasional bank, sehingga dapat memberikan keamanan bagi masyarakat dalam menyimpan dananya maupun bagi stabilitas ekonomi nasional. Di antara produk-produk bank, antara lain berikut: 1. Simpanan Menurut UU RI No.7 tahun 1992 tentang perbankkan, simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk bentuk lain yang disamakan denagan itu. 2. Giro Pengertian giro yaitu simpanan yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran dan penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, sarana pembayaran lainnya, atau dengan cara permindah bukuan. 3. Cek Cek adalah tidak bersyarat dari pemegang rekening (nasabah giro) kepada bank untuk membayar sejumlah uang tertentu. Dari definisi tersebut, ada 3 pihak yang memperoleh manfaat cek, yaitu nasabah, pihak bank dan pemegng cek. 4. Tabungan Pengertian Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakuakan menurut syarat tertetu yang disepakati, tetapi tidak dapat di tarik dengan cek atau alat yang dapat dipersamakan dengan itu. B. Operasi Bank Islam Berdasarkan Kepada Nilai-nilai: 1. Larangan Riba. Menurut hukum Islam, riba adalah haram. Hal ini tercantum secara jelas, dalam al-qur’an. dalam sunah Rasul dari Abu Hurairoh antara lain disebutkan : Hindarilah olehmu 7 (tujuh) perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, apakah itu? Nabi bersabda : yaitu menyekutukan Allah, Sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah selain alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling atau lari di kla perang, dan menuduh berzina terhadap wanita baik-baik. 2. Mengutamakan dan mempromosikan perdagangan dan jual beli. 3. Berbuat dan berlaku adil. 4. Kebersamaan dan tolong menolong. 5. Saling mendorong untuk meningkatkan prestasi. 6. Efisiensi dalam segala tindakan. Supaya umat Islam tegak berdiri sesuai dengan sunah Rasul dalam berniaga alangkah baiknya dipahami jenis-jenis riba. Secara garis besar terbagi dalam dua bagian. Pertama, riba hutang piutang yang dibedakan menjadi riba qard dan riba Jahiliyah. Kedua, riba jual beli yang dibedakan menjadi riba fadhl dan riba nasiah. Riba qard adalah suatu manfaat atau tigkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh). Riba Jahiliyah adalah hutang lebih dari pokoknya, karena sipeminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba fadhl adalah kelebihan pada salah satu barang jenis yang diperjual belikan dengan ukuran syara’. Riba Nasiah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berhutang kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia telah merasakan hasil-hasil dari pembangunan, namun ada kesulitan bagi golongan ekonomi lemah untuk mendapatkan kredit. Kesulitan permodalan yang seringkali menghadang pengusaha kecil disebabkan oleh kebijakan moneter. Dengan demikian diperlukan suatu kebijakan moneter yang mendukung dan mempermudah mendapatkan modal antara lain pengembangan lembaga keuangan yang langsung bergerak menangani golongan ekonomi lemah . C. Tujuan di dirikannya BPRS. a) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam. b) Meningkatkan pendapatan perkapita. c) Menambah lapangan dan kesempatan kerja. d) Mengurangi Urbanisasi. e) Membina semangat ukhuwah Islamiyah melalui kesejahteraan ekonomi. Sasaran yang diharapkan dapat segera dijaring tentunya seperti pengrajin, petani nelayan, pedagang kecil dan koperasi. Disinilah sasaran pengembangan ekonomi lemah yang diharapkan bisa “dibantu” BPRS. Dan kita tahu bahwa sebagian besar rakyat yang hidup dalam kemiskinan berada pada sektor ini. Islam adalah agama yang sangat menekankan pada pendidikan moral. Ini merupakan jawaban bagi dunia bisnis di Indonesia tentang tipisnya etika bisnis yang pernah muncul dipermukaan. Etika merupakan unsur penting dalam pengembangan profesionalisme dengan cirri-ciri sebagai berikut : 1. Mempunyai kemampuan dibidangnya. 2. Mempunyai standar untuk menilai hasil karyanya. 3. Berkembang melalui prestisme. 4. Berpegang pada kode etik. Etika ekonomi Islam menyangkut aturan-aturan tentang tata cara dalam berusaha dalam segala aspek kegiatan ekonomi menurut Al-qur’an dan sunah Rasul yang terdiri dari. 1. Jujur. Pihak Bank Islam memberikan amanat berupa pinjaman modal kepada nasabahnya dan nasabah menerima amanat tersebut supaya kepercayaan pihak Bank Islam lebih tinggi dan terpelihara. Hal tersebut merupakan realisasi etika ekonomi bisnis yang dianut oleh umat Islam. 2. Melunasi hutang. Umat Islam yang memanfaatkan potensi Bank Islam dengan meminjam dana berkewajiban mengembangkan modal yang dipinjamkan melalui usaha produktif supaya memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta dapat membayar semua pinjaman sesuai dengan kesepakatan. Ini perintah Allah. 3. Benar timbangan. Timbangan dari ukuran kuantitas dan kualitas merupakan salah satu penunjang dalam berusaha yang kadang-kadang memberikan peluang untuk melakukan kecurangan.Banyak firman Allah dalam Al-qur’an yang melarang mengurangi timbangan ini. 4. Tepat waktu. Waktu merupakan modal utama dalam mengembangkan suatu usaha ekonomi. Pentingnya waktu bisa dilihat dalam. 5. Persis hitungan. Kemampuan melakukan kalkulasi yang teliti merupakan dasar keberhasilan suatu usaha, sebab dengan kalkulasi yang tepat dapat diketahui tingkat keuntungan usaha yang dilakukan. 6. Empati. Empati adalah cepat tanggap untuk merasa berpikir, bersikap dan kalau perlu bertindak menanggapi suatu situasi dimana pihak-pihak lain sedang berperan dalam kondisi bagaimanapun, yang memiliki kaitan dengan ikhtiar yang sedang kita lakukan.