Rabu, 27 Juni 2012

Pengertian Bid’ah : Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bid’ah yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya , Allah ta’ala berfirman : yang artinya: -Allah pencipta langit dan bumi” (Al-Baqarah : 117) -Katakanlah, Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul”. (Al-Ahqaf : 9). Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluikun: 1. Perbuatan bid’ah itu ada dua bagian : Perbuatn bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK. Tapi ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah. 2. Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)”. Macam-macam Bid’ah Bid’ah dalam Ad-Dien (Islam) ada dua macam : 1. Bid’ah qauliyah ‘itiqadiyah : Bid’ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya , Allah ta’ala berfirman. 2. Bid’ah fil ibadah Bid’ah dalam ibadah : Seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah. Bid’ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu : A. Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu Mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan. B. Bid’ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar. C. Bid’ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama’ah dan suara yang keras. Hukum Bid’ah dalam Ad-Dien Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW Yang berbunyi: Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat“. (Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih). Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan tertolak. Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid’ahnya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya. Begitu juga bid’ah seperti bid’ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah. Ada juga bid’ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo’a disisinya. Ada juga bid’ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid’ah Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid’ah yang merupakan maksiat seperti bid’ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima’ (bersetubuh). وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا “Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).” Rasulullah SAW bersabda: (رواه البخاري و مسلم) مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
HIZBUT TAHRIR Hizbut Tahrir adalah sebuah partai untuk seluruh umat Islam. Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir. Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang di turunkan Allah dapat di berlakukan kembali. Berdirinya Hizbut Tahrir, sebagaimana telah disebutkan adalah dalam rangka memenuhi seruan Allah SWT, “Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat.” Dalam ayat ini, sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan umat Islam agar di antara mereka ada suatu jamaah (kelompok) yang terorganisasi. Kelompok ini memiliki dua tugas. Pertama, mengajak pada al-Khayr, yakni mengajak pada Islam. Kedua, memerintahkan kebijakan (melaksanakan syari’at) dan mencegah kemungkaran (mencegah pelanggaran terhadap syari’at). Oleh karena itu, tidak diperbolehkan organisasi-organisasi atau partai-partai politik yang ada di tengah-tengah umat Islam berdiri di atas dasar selain Islam, baik dari segi fikrah maupun Thoriqoh. Hal ini, disamping karena Allah telah memerintahkan demikian, juga karena Islam adalah satu-satunya mabda’ yang benar dan layak di muka bumi ini. Islam adalah mabda’ yang bersifat universal, sesuai dengan fitrah manusia, dan dapat di berikan jalan pemecahan kepada manusia secara manusiawi. Allah SWT telah mewajibkan umat Islam agar selalu terikat dengan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, baik menyangkut hubungannya dengan Pencipta mereka, seperti hukum-hukum yang mengatur akhlak, makanan, pakaian ataupun menyangkut hubungannya dengan manusia, seperti hukum-hukum yang mengatur masalah muamalat dan perundang-undangan. Allah juga telah mewajibkan umat Islam agar menerapkan Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan mereka, menjalankan pemerintahan Islam, serta menjadikan hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah, sebagai konstitusi dan sistem perundang-undangan mereka. Allah SWT berfirman: “Putuskanlah perkara di antara manusia berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (hukum Allah) yang telah datang pada kalian”. (QS al-Maidah (5):45). Oleh karena itu, Islam memandang bahwa tidak menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum Islam merupakan sebuah tindakan kekufuran, sebagaiman firman-Nya: “siapa saja yang tidak memutuskan perkara (menjalankan urusan pemerintahan) berdasarkan wahyu tang telah Allah di turunkan Allah, berarti mereka itulah orang-orang kafir”. (QS. al-Maidah (5):44). Semua mabda’ selain Islam sepperti kapitalime dan sosialisme (termasuk di dalamnya komunisme), tidak lain merupakan ideologi-ideologi tersebut destruktif ( rusak) dan beretentangan dengan fitrah kemanusian. Ideologi-ideologi tersebut adalah buatan manusia yang sudah nyata kerusakannya dan telah terbukti cacat-celanya. Semua ideologi yang ada selain Islam tersebut bertentangan dengan Islam dan hukum-hukumnya. Oleh karena itu, upaya mengambil dan menyebarluaskan serta dan membentuk organisasi berdasarkan ideologi-ideologi tersebut adalah termasuk tindakan-tindakan yang diharamkan oleh Islam. Dengan demikina, organisasi umat wajib berdasarkan Islam semata baik ide maupun metodenya. Hizbut Tahrir memiliki dua tujuan, yaitu melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam keseluruh penjuru dunia. Tujuan ini berarti mengajak umat Islam agar kembali hidup secara Islami di dar-al-Islam dan didalam lingkungan masyarakat Islam. Tujuan ini berarti pula menjadikan seluruh aktivitas kehidupan diatur sesuai dengan hukum-hukum syari’at serta menjadikan seluruh aktivitas kehidupan diatur dengan standar halal dan haram di bawah di dalam naungan dakwah Islam. Disamping itu, aktivitas Hizbut Tahrir di maksudkan untuk membangkitkan yang benar melalui pemikiran yang tercerahkan. Hizbut Tahrir berusaha untuk mengembalikan posisi umat Islam ke masa kejayaan dan keemasannya, yakni tak kala umat dapat mengambil alih kendala negara-negara dan bangsa-bangsa dunia. Hizbut Tahrir merima anggota dari kalangan umat Islam, pria maupun wanita, tanpa memperlihatkan lagi apaka mereka keturunan Arab atau bukan, berkulit putih atau hitam. Hizbut Tahrir menyerukan kepada umat untuk mengemban dakwah Islam serta mengambil dan menetapkan seluruh aturan-aturan tanpa memandang lagi ras-ras kebangsaan, warna kulit ataupun mazhab-mazhab mereka. Aktivitas Hizbut Tahrir adalah mengemban dakwah dalam rangka melakukan transformasi sosial di tengah-tengah situasi masyarakat yang rusak sehingga diubah menjadi masyarakat Islam. Upaya ini di tempuh dengan tiga cara: a. Mengubah ide-ide yang ada saat ini menjadi ide-ide Islam. Dengan begitu, ide-ide Islam diharapkan dapat menjadi opini umum di tengah-tengah masyarakat, sekaligus menjadi persepsi mereka yang akan mendororng mereka untuk merealisasikan dan mengaplikasikan ide-ide tersebut sesuai dengan tuntutan Islam. b. Mengubah perasaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat menjadi perasaan Islam. Dengan begitu, mereka diharapkan dapat bersikap ridlo terhadap semua perkara yang di ridlo oleh Allah, dan sebaliknya, marah dan benci terhadap semua hal yang dimurkai dan dibenci oleh Allah. c. Mengubah interaksi-interaksi yang terjadi ditengah masyarakat menjadi interaksi yang Islami,yang berjalan sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahan-peecahannya. Artinya, Hizbut Tahrir menyelesaikan urursan-urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum serta pemecahannya secara syar’i. Sebab secara syar’i, politik tidak lain mengurus dan memelihara urusan-urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahannya. Aktivitas-aktivitas Hizbut Tahrir yang bersifat politik ini tampak jelas dalam upayanya mendidik dan menimba umat dengan Tsaqofah (ide-ide) Islam agar umat meleburkan dirinya dengan Islam, membebaskan umat dari dominasi aiqdah-aqidah yang destruktif, pemikiran-pemikiran yang salah, dan persepsi-persepsi yang keliru, serta menyelamatkan umat dari pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan yang kufur. Sementara itu, perjuangan politik Huzbut Tahrir dapat terlihat dalam upanyanya menentang orang-orang kafir imperialis dalam rangka melepaskan umat Islam dari belenggu kekuasaan mereka, membebaskan umat Islam dari tekanan dan pengaruhya, serta mencabut akar-akar pemikiran, kebudayaan, politik, ekonomi, maupun militer dari seluruh negeri-negeri Islam. Hizbut Tahrir berusaha mengubah para pengusaha apabila mereka melanggar hak-hak umat atau mereka tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, juga apabila mereka melalaikan salah satu uurusan umat atau mereka menyalahi hukum-hukum Islam. Aktivitas Hizbut Tahrir secara keseluruhan merupakan aktivitas yang bersifat politik, baik dilingkungan sistem kekuasan yang tidak Islami ataupun didalam naungan sistem pemeritahan Islam. Artinya, aktivitas Hizbut Tahrir tidak hanya terbatas pada aspek pendidikan. Hizbut Tahrir bukanlah madrasah atau sekolahan. Partai ini juga tidak terfokus pada seruan-seruan dan nasihat-nasihat yang bersifat umum. Akan tetapi, aktivitasnya secara keseluruhan bersifat politis, Hizbut Tahrir berupaya menyampaikan ide-ide dan hukum-hukum Islam untuk di realisasikan, diemban, dan diwujudkan dalam realitas kehidupan umat dan negara. Hizbut Tahrir mengemban dakwah Islam agar Islam dapat diterapkan dalam realitas kehidupan agar aqidah Islam menjadi dasar negara dan sekaligus landasan konstitusi dan undang-undang. Sebab, aqidah Islam adalah aqidah yang bersifat rasional (aqidah aqliyah) dan sekaligus aqidah yang bersifat politis (aqidah siyasiyah), aqidah yang telah menderivasikan (menurunkan) aturan-aturan yang mampu menjadi solusi atas segenap problematika yang dihadapi manusia secara keseluruhan, baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial, dll. Hizbut Tahrir selama ini melakukan serangkaian pengkajian, penelitian, dan studi terhadap keadaan umat dan kemerosotan yang di deritanya. Pada saat yang sama, Hizbut Tahrir juga melakukan situasi masa Rasulullah SAW, masa Khulafaur Rosyidin, dan masa Tabi’in. Upaya ini dilakukan dengan senantiasa merujuk pada Sirah Rasulullah dan metode beliau dalam mengemban dakwah (sejak awal hingga beliau berhasil mendirikan Daulah Islam di Madinah), serta dengan melakukan studi tentang bagaimana perjalanan hidup beliau di Madinah untuk merujuk Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya serta apa yang ditujukan pada keduanya yaituijma’dan qiyas. Semua itu merupakan ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-hukum Islam, tidak ada satupun yang tidak Islami, tidak pula di pengaruhi oleh sesuatu yang tidak bersumber dari Islam. Partai ini senantiasa bersandar pada pemikiran (akal sehat) dalam menetapkan semua itu. Hizbut Tahrir telah memilih dan menetapkan ide-ide tersebut dengan ketentuan yang diperlukan dalam pejuangannya. Semua itu adalah dalam rangka melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, dengan cara mendirikan kembali dakwah khilafah dan mengangkat seorang khilafah. Ide-ide, pendapat-pendapat, dan hukum-hukum yang dipilih dan diterapkan oleh Hizbut Tahrir telah di himpun di dalam buku-buku (baik yangdijadikan sebagai materi pokok pembinaan ataupun sebagai materi pelengkap) dan sejumlah lembaran. Semua itu telah diterbitkan dan disebarkan di tengah-tengah umat. Contoh buku yang telah di terbitkan oleh Hizbut Tahrir: 1. Kitab Nizham al-islam (Islam struktural). 2. Kitab Nizham al-Hukm fi al-Islam (Sistem Pemerintahan Islam). 3. Kitab An-Nizam al-Iqtishadi (Sistem Ekonomi Islam). 4. Kitab An-Nizham al-ijtima’ fi al-Islamn (Sistem Pergaulan Pri-Wanita dalam islam). 5. Kitab Asy-Ayakhsiyyah al-Islamiyyah 9 membentuk Kepribadian islam, tiga jilid). Disamping itu, terdapat ribuan selebaran-selebaran, buklet-buklet, dan diktat-diktat (surat-surat terbuka kepada para penguasa dan pemimpin gerakan politik) yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir sejak berdirinya sampai sekarang.
Rela pada sesuatu berarti rela terhadap konsekwensi yang ditimbulkannya. Ajaran syariat merupakan media pemadu bagi umat manusia agar senantiasa berada di jalan yang benar dalam menjalani kehidupan ini. Karena itu ajaran syariat selalu menyentuh seluruh aspek kehidupan; kapanpun, di manapun, dan dalam bentuk apapun.semua mempunyai teknis ‘pelaksanaan’ sesuai panduan syariat. Di antara ajaran syariat adalah agar umat manusia selalu berbuat sesuatu berdasarkan keyakinan kuat dan denagn penuh tanggung jawab. Menusia harus mempunyai komitmen kuat terhadap apa yang telah ia putuskan dan ia lakukan . konsekwensi ynag timbul akibat keputusan dan perbuatannya harus diterim, baik sifat positif atau negatif. Secara inmplisit, kaidah ini mengingatkan kita agar berhati-hati dalam menentukan sikap, sebab, ketika seseorang menyatakan rela atau setuju, maka konsekwensinya harus rela menanggung akibat yang ditimbulkan oleh pernyataan itu. Kerelaan dan persetujuan yang dikehendaki dalam kajian ini mengakomodir sagala motif yang memiliki oriantasi persetujuan, kerelaan, pengesahan, perizinan, dan lain sebagainya. Kerelaan bisa berasal dari siapa saja dan berupa apa saja. Bisa berbentuk pertanyaan resmi, sikap permisif (memberi ijin), pengesahan (legalisasi), atau bisa pula berupa hal-hal yang diperlakukan dilegitimasi oleh syariat. Kadang-kadang persetujuan itu berupa tidak adanya penolakan atau tidak hanya komentar yang kemudian menimbulkan sikap persetujuan. Titik tekannya terletak pada adanya izin atau legitimasi atas hal yang dikerjakan. Oleh karena itu, kaedah di atas dalam beberapa literatur ditampilkan dalam menggunakan redaksi berbeda. المتولد من ماْ ذون فية لا اْ ثر لة Hal-hal yang timbul dari sesuatu yang telah mendapat izin tidak akan menimbulkan dampak apapun Dampak (atsar) yang tidak dihiraukan dalam kontek ini dapat secara luas diterapkan dalam berbagi permasalahan, di antaranya dapat kita lihat dalam ilustrasi berikut : 1. Seorang calon suami yang rela akan ‘ayb yang diderita oleh calan istri, menurut satu pendapat (qwal shahih), tida dibenarkan menceraikan istrinya, walaupun di kemudian hari ‘ayb yang dideritanya semakin parah. Sebab, apa yang menimpa istrinya sudah diterima dengan lapang dada sejak semula. Hal yang sama berlaku sebaliknya; sang istri tidak dapat mengajukan talak gara-gara ‘yb yang diderita sang suami semakin parah. 2. Pelaksanaan eksekusi vonis pengadilan atas terdakwah. Pelaksanaan qishash memotong tangan bagi pencuri, misalkan jika menibulkan penularan penyakit ke seluruh tubuh, maka sang algojo tidak dibebani tanggung jawab, karena pemotongan yang dilakukan algojo adalah dalam kerangka menjalankan ketentuan undangan-undangan. Hal yang sama berlaku bila orang yang dipotong tangannya ternyata mati setelah eksekuasipemotongan selesai; sang alsang algojo tidak bertanggung jawab karena apa yang dilakukannya untuk menjalankan keputusan undang-undang. IZIN DALAM TRANSAKSI GADAI Kondisi ekonomi yang semakin sulit memaksa andi untuk mengadaikan sepeda miliknya kepada temannya yang bernama taufiq. Terpaksa jalan ini ia tempuh setelah ia merasa putus asa mencari pinjaman modal usaha. Semenjak sepdanya di gadaikan pada taufiq andi merasa kesulitan untuk pergi kerja. Karena itu, ia memberanikan diri untuk meminta izin kepada Tawfiq untuk di perbolehkannya meminjam sepeda sehari saja. Terdorong rasa iba, Taufiq pun mempersilahkannya. Tanpa diduga, sepeda tersebut hilang. Lantas, bagaimana kelanjutan transaksi gadai yang telah berlangsung. Imam al-Suyuthi, sebagaimana disetujui oleh al-Zarkasyih, Syaikh Yasin al-Fadani, dan beberapa ulama lainnya, menetapkan bahwa transaksi tersebut menjadi batal (infisakh), namun Andi sebagai penggadai (rahin) tidak dibebani sama sekali ganti rugi kepada taufiq.Sebab, kerusakan motor merupakan akibat dari izin dari Tawfiq selaku penerima gadai (murthahin). Yang menarik dari contoh di atas adalah mencari hubungan antara tidak adanya kewajiban membayar ganti rugi (dhoman) dengan rusaknya transaksi gadai. Sesuai pesan kaedah, bisa kita pahami, bahwa kerukan moto dampak (al-mutawallad) dari perbuatan andi yang mendapat izin (al-mu’dzun fih), sehingga mestinya ketentuan yang di terapkan adalah tidak ada berdampaknya kerusakan terhadap Andi. Namun, ketetapan yang diberlakukan adalah batalnya transaksi. Apa keterkaitannya keduanya. Pada dasarnya, transaksi gadai (rahn) dapat disebut transaksi final (luzum) jika barang gadainya (marhun) telah berada di tangan penerima gadai. Setelah taransaksi disepakati kedua belah pihak (luzum, maka tidak dibenarkan membatalkan transaksi tersebut. Jika setelah itu, tanpa sepengetahuan penerima gadai, penggadai melakukan sesuatu terhadap bbarang gadai yang berakibat hilangnya hak milik atas barang tersebut,seperti hilang,diwakofkan, disedahkan dan lain sebagainy, maka maka transaksi menjadi batal dan harus ada ganti rugi. Dalam contoh sebelumnya, kerusakan tersebut tentu jadi batalnya transaksi gadai. Meskipun begitu, karena kerusakan disebabkan oleh perbuatan yang telah mendapat restu dari Taufiq (penerima gadai), maka andi tidak di haruskan menanggung ganti rugi, meskipun transaksinya menjadi batal (infisakh) dengan sendirinya. Dalam konteks serupa, dapat kita temukan contoh mudah dalam penggadaian hewan ternak, seperti sapi. Jika setelah transaksi berlangsung pihak penggadai memanfaatkan sapi tersebut untuk membajakmsawah atas seizin penerima gadai, lalu sapi tersebut mati karna digunakan bekerja, maka transaksi menjadi batal dan pihak penggadai tidak harus membayar ganti rugi, karena ia telah mendapat izin dari penerima gadai. PENGECUALIAN Kaidah ini tidak dapat diberlakuakan dalam aktivitas yang disyaratkan untuk menjaga keselamatan dari akibat yang memungkinkan di timbulkan(salama al-aqibah). Dalam arti, jika terjadi efek yang merupakan dampak dari perbuatan yang seharisnya dapat di hindari, maka kerelaan, izin, atau legalitas yang diberikan tidak begitu saja menjadi ditolerirnya akibat yang ditimbulkan. Untuk memudahkan pemahaman,kita cermati contoh berikut: » Sseorang guru yang menghukum (ta’zir) murit yang melakukan pelanggara, dan telah mendapat izin sang wali. Jika ta’zir itu sangat berat, hingga menimbulakan dampak yang dapat diduga sebelumnya, yakni meninggal dunia, maka ta’zir tersebut harus dipertanggungjawabkan (dhaman). Perlu dicatat, ta’zir adalah hal yang direstui oleh syariaat. Tapi, dalam kasus ini, sng guru wajib bertanggungjawab, karena seberapa izin yang diperbolehkan seorang guru; dari wali murid maupun dari syariat, tetaplah terbatas pada keteentuan menjaga keselamatan dampak yang mungkin timbul (salamt al-aqibah). Dari contoh di atas sedikit memberi satu titik simpul, pada dasarnya selain memberi ta’zir, seorang guru atau sumi masih bisa menjatuhkan hukuman lain yang lebih manusiawi, misalnya menesehati, memberi contoh teladan, mengingatkan, menyindir, memarahi dan lain sebagainya. Apabila ada dugaan kuat bahwa nasehat tidak bisa membuat jera, maka sang guru baru men-ta’zir. Meski demikian, ta’zir tersebut tetap harus dilakukan dengan cara yang tidak membahayakan. Di samping atau ganti rugi (dlaman) atas dampak yang ditimbulkannya.
Hiwalah A. Pengertian Hiwalah adalah bentuk masdar dari hawala, yang artinya menurut etimology adalah memindahkan atau mengalihkan. Abdurrahaman al-Jazairi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa: “Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain” Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah, para ulama’ berbeda-beda dalam mendifinisikannya, antaralain sebagai berikut: 1. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah: “Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.” 2. Al-Jazairi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah ialah: “Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi menjadi tanggung jawab orang lain.” 3. Syihab Al-Din Al-Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah ialah: “Akat yang menetapkan pemindahan utang dari seseorang ke orang lain.” 4. Muhammad Syatha al-Dimyti berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah ialah: “Akat yang menetapkan pemindahan utang dari beban sesorang menjadi beban orang lain.” 5. Ibrahin al- Bajuri berpendapat hiwalah ialah: “Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan.” 6. Menurut Taqiyudin hiwalah ialah: “Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.” 7. Menurut Idris Ahmad, hiwalah ialah semacam akat pemindahan utang tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang itu punya utang pada orang yang memindahkannya.” Pada dasarnya semua definisi di atas hampir sama, perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa madzhab Hanafi menekankan dari segi kewajiban membayar hutang, sedangkan ketiga madzhab lain menekankan pada hak pembayarann hutang. B. Dasar Hukum Hiwalah dan Akibat Hukum Hiwalah Dasar hukum hiwalah Hiwalah sebagai salah satu bentuk ikatan atau transaksi antar sesama manusia yang dibenarkan oleh Rasulullah SAW, dalam sabda Nya beliau menyatakan: “ Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan orang kaya merupakan perbuatan Dzolim. Jika salah seorang kamu di alihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih. (H.R. Bukhari Muslim) Disamping itu terdapat kesepakatan ulama’ (ijma’) yang menyatakan tindakan hiwalah boleh dilakukan. Akibat hukum hiwalah Jika akad hiwalah telah terjadi, maka timbul akibat hukum dari akad tersebut: a. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayar hutang kepada pihak kedua secara otomatis menjadi terlepas. Sedangkan menurut sebagian ulama’ madzhab Hanafi, di antaranya ialah Kammal bin Hummam menyatakan, bahwasanya kewajiban tersebut masih tetap ada, selama pihak ketiga belum melunasi hutangnya kepada pihak kedua, karena sebagaimana disebutkan sebelumnya. Mereka memandang bahwa akad tersebut didasarkan atas prinsip saling percaya, bukan prinsip pengalihan hak dan kewajiban. b. Akad hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang kepada pihak ketiga. c. Madzhab Hanafi yang membenarkan terjadinya hiwalah al-mutlaqah berpendapat bahwa jika akad hiwalah al-mutlaqah terjadi karena inisiatif dari pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga yang mereka tentukan ketika akad hutang piutang sebelumnya masih tetap berlaku, khususnya jika jumlah hutang piutang antara ketiga pihak tidak sama. C. Rukun dan Syarat Hiwalah Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu, yaitu ijab dan Kabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. Syarat-syarat hiwalah menurut hanafi ialiah: 1. orang yang memindahkan utang (muhilf) adalah orang yang berakal, batal hiwalah yang dilakukan muhil dalam keadaan gila atau masi kecil. 2. Orang yang menerima hiwalah (rah al-dayn) adalah orang yang berakal, maka batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang berkal. 3. Orang yang dihiwalahkan (maha ‘alah) juga harus orang berakal dan disyaratkan pula dia meridhainya. Menurut Syafi’iyah, rukan hiwalah itu ada empat, sebagai berikut: 1. Mahil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan utang. 2. Muhtal, yaitu orang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai utang pada muhil. 3. Muhal ‘alah yaitu orang yang menerima hiwalah. 4. Sighat hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya; “aku hiwalahkan utangku yang haq bagi engkau kepada anu” dan Kabul dari muhtal dengan kata-katanya. “aku terima hiwalah engkau” Syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabiq adalah sebagian berikut. 1. Relanya pihak mihil dan muhal tanpa muhal ‘alah jadi yang harus rela itu muhil dan muhal ‘alah. 2. Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesayannya, tempo waktu, kualitas, dan kuantitas. 3. Stabilnya muhal ‘alah, maka penghiwalahan kepada seorang yang tidak mampu membayar hutang batal. 4. Hak tersebut diketahui secara jelas. D. Manfaat Hiwalah Akad Hawalah dapat memberikan beberapa manfaat dan keuntungan, diantaranya: 1. Memungkinkan penyelesaian hutang piutang dengan cepat. 2. Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan. 3. Dapat menjadi salah satu fee-based income/sumber pendapatan non pembiayaan bagi bank syari’ah. Adapun resiko yang harus diwaspadai dalam kontrak hiwalah yaitu adanya kecurangan nasabah dengan memberi keterangan palsu atau wanprestasi/ingkar janji untuk memenuhi kewajibannya. E. Hukum Hiwalah Hukum Hiwalah bisa berbeda-beda tergantung kondisinya: 1. Sunnah, dengan syarat muhal ‘alaih mempunyai kemampuan untuk membayar, tepat janji dan tidak ada syubhat (tidak diragukan akan kehalalan hartanya). 2. Haram, apabila hartanya jelas keharamannya. 3. Makruh, apabila hartanya masih diragukan keharamannya. F. Catatan Jual Beli Hutang yang Diperbolehkan Menurut al-ashah akad hawalah adalah termasuk jual beli hutang dengan hutang. Maksudnya hutang yang menjadi tanggungan muhil (orang yang punya hutang kepada muhtal) dijual dengan hutang yang menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang punya hutang kepada muhil). Pada dasarnya jual beli hutang dengan hutang tidak diperbolehkan. Namun berdasarkan hajat/kebutuhan dalam akad hawalah diperbolehkan. Pengecualian ini adalah rukhsah (keringanan) tersendiri dalam akad hawalah, karena itu tidak disyaratkan taqabudh fi al-I majlis (serah terima barang di tempat terlaksananya akad) jika hutang yang dijual belikan tersebut berupa barang ribawi. Hawalah dalam Jasa Wesel/Transfer Jasa transfer (wesel): jika seseorang menyerahkan sejumlah uang untuk ditransfer pada orang yang ada di negara A, maka bila memberikannya atas dasar amanah/kepercayaan, maka hukumnya boleh. Pihak yang menerima amanah untuk mentransfer sejumlah uang tersebut tidak berkewajiban mengganti jika tidak ada unsur kelalaian dalam menjaganya dan tidak mencampur dengan hartanya sendiri. Akan tetapi, bila dicampur maka dia berkewajiban mengganti sejumlah uang tersebut di atas. Hal ini pada masa sekarang dikenal dengan sebutan jasa transfer via pos/wesel (al-hawalah al-baridiyah). Sejumlah uang yang disetorkan kepada petugas pos/LKS (Lembaga Keuangan Syari’ah) untuk ditransfer kepada orang tertentu dicampur dengan uang yang lain, kemudian uang yang diserahkan kepada orang yang dituju bukanlah uang yang diserahkan semula, maka atas dasar itu uang tersebut menjadi madhmunah (tanggungan) pihak pos/petugas LKS. Jadi, pihak pos/LKS bertanggung jawab sepenuhnya atas uang tersebut. G. Beban Muhil setelah Hiwalah Apabila hiwalah berjalan sah,dengan sendirinya tanggungan muhil gugur. Andai muhal ‘alah mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali pada muhil, ini pendapat jumhur. H. Berakhirnya Hukum Hiwalah Para ulama’ fiqih mengemukakan bahwa akad hiwalah akan berakhir apabila : a. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu membatalkan akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap, dengan adanya pembatalan akad itu, pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran hutang kepada pihak pertama. Demikian pula pihak pertama kepada pihak ketiga. b. Pihak ketiga melunasi hutang yang di alihkan kepada pihak ketiga. c. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua. d. Pihak kedua menghibahkan, atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad hiwalah itu kepada pihak ketiga. e. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar hutang yang di alihkan itu. f. Pihak ketiga mengalami kebangkrutan.
HUKUM SYARA’ DAN UNSUR-UNSURNYA A. HUKUM 1. Pengertian Hukum Mayoritas ulama; usul fiqih mendefinisikan hikum sebagai berikut: “ Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperative,fakulatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang “ Yang dimaksud Khitob Allah dalam definisi tersebut adalah semua bentuk dalil, baik Al-Quran, As-sunnah maupun yang lain. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil hanya Al-Quran dan As-Sunnah.Adapun ijma’ dan qias hanya sebagai metode menyingkapkan hukum dari Al-Quran dan Sunahtersebut. Yang di maksud perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakalsehat meliputi perbuatan hati, seperti niat dan perbuatan ucapan, seperti ghibah (mengunjing) dan namimah. 2. Pembagian hukum Bertolak belakang dengan hukum diatas, maka hukum menurut ulama’ usul terbagi dalam dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. a. Hukum taklifi  Pengertian Hukum Taqlifi Hukum taqlifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan, dan pilihan untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkan.Contoh hukum shalat, membayar zakat. Sedangkan hukum yang melarangan, seperti memakan harta anak yatim sesuai firman Allah: “Dan janganlah kamu dekati anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat”  PEMBAGIAN HUKUM TAQLIFI Pembagian hukum taqlifi itu terbagi menjadi lima, yaitu: Wajib, Makruh, dan Mubah. Pendapat ini menurut jumhur. Sedang menurut Hanafi hukum taqlifi terbagi 7: Fardhu, Wajib, Mandhub, Makruh tahrim, Makhruh tanzih, Haram dan Mubah. a) WAJIB wajib itu identik dengan fardhu. Wajib adalah suatu perintah yang harus dikerjakan dimana orang yang meninggalkannya berdosa .misalnya, dalam surat An-Nur : 56 artinya :‘’Dan dirikanlah sholat tunaikan zakat’’(QS.An-Nur : 56) sebagian ulama’ madhab Hanafi ada yang menyebut perbuatan wajib sebagai fardhu ‘amali seakan-akan fardhu menurut mereka fardhu terbagi menjadi 2 : 1. fardhu dalam keyakinan dan amal (perbuata), yaitu fardhu yang berdasarkan dalil qath’i. 2. fardhu dalam perbuatan saja, yaitu fardhu yang berdasarkan dalil zahanni. Haram Haram adalah larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan, baik yang telah ditetapkan dengan dalil yang qath’I maupun dalil zhanni. Keterangan tersebut merupakan pendapat jumhur.Menurut pendapat Hanafi, hukum haram harus didasarkan pada dalil qath’I yang tidak mengandung keraguan sedikitpun. Seperti firman Allah: “ Dan jangan kau mengatakan terhadap yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ ini halal dan ini haram “ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah, tiadalah beruntung. Dasar yang dijadikan landadsan hukum haram adalah karena adanya bahaya yang nyata yang tidak diragukan lagi. Setiap perbuatan yang diharamkan syara’ pasti mengandung bahaya,sedangkan perbuatan yang diperbolehkan syara’ pasti mengandung perbuatan kemanfaatan . Hukum haram terbagi menjadi dua bagian : 1. Haram li-dzatih : yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah, karena bahaya tersebut terdapat dalam perbuatan tersebut. Seperti makan bangkai, minuman keras, dll. Perbuatan yang diharamkan li-dzatih adalah bersentuhan langsung dengan salah satu yang diharamkan. Sedangkan yang dimaksud dharury ialah sesuatu yang mana penjagaan terhadap salah satu hal itu. 2. Haram li-ghoirihl’ aridhi : yaitu perbuatan yang dilarangoleh syara’, dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri tetapi, perbuatan tersebut dapat menimbulkan haram li-dzati seperti melihat aurat perempuan, dan menimbulkan perbuatan zinah. b) MANDUB Mandub adalah perbuatan yang dianjurkan oleh sara’. Atau suatu perintah, yang apabila dilaksanakan maka akan diberi pahala, jika ditinggalkan tidak akan di siksa. Mandub itu mempunyai beberapa macam yaitu : 1.sunah mu’akkad, yaitu suatu sunah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu, namun beliau menjelaskan bahwa hal tersebut bukan fardhu yang harus di kerjakan. Seperti shalat Witir, shalat dua rakaat sebelum shubuh. Termasuk sunah mu’akkadah Jumhur fukoha’ ialah nikah bagi orang yang mampu dan dalam keadaan normal. 2. Sunah ghoiru mu’akkad : yaitu sunah yang Tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu. Seperti shalat empat rakaat sebelum zhuhur. 3. Sunah yang tingkatannya dibawah dua tingkatan diatas. Sunah ini ialah mengikuti adat kebiasaan Rasulullah SAW yang tidak ada hubungannya dengan tugas tabligh(penyampaiian ajaran) dari Allah, atau penjelasan terhapat hukum sara’. Seperti cara berpakaian, makan dan minumnya Rasulullah SAW, memelihara jenggot, mengunting(merapikan) kumis yang semuannya ini merupakan adat kebiasaan yang baik. Yang di tuntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dati tuntut itu disebut nadb misalnya, dalam surat Al-Baqarah : 282. Artinya :‘’orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.’’ (QS Al-baqarah : 282). c) Mubah Mubah ialah suatu hukum, dimana Allh SWT memberikan kebebasan kepada orang mukalaf untuk memilih antara mengerjakan suatu perbuata-perbuatan atau meninggalkan.‘’ Mubah ialah suatu perbuatan yang apabila dikerjakan atua ditinggalkan sama-sama tidak memperoleh pujian pendapat itu menurut Imam Asy-Syaukani seperti makan, minum, bergurau, dan sebagainya. Dari sini dapat diketahui bahwa mubah di kategorikan adalah suatu perbuatan yang pada mulanya di haramkan, tetapi karna ada suatu factor yang menyababkan halalkan, maka akhirnya hal tersebut di perbolehkan.Seperti membunuh orang yang murtad, dilihat dari segi kemanusiaan, orang itu haram dibunuh. Tetapi karna ia murtad, maka hilanglah keharaman tersebut. Dan menganbil mas kawin yang tealah diberikan kepada istri hukumnya haram. Berdasarkan firman Allah Artinya : ‘’ dan jika kamu ingin mengganti istrimu dangan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu menganbil dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan dosa yang nyata (Qs. An-Nisa’ : 20). BAB II B. HUKUM WADH’I A. Pengerrtian Hukum Wadh’i Adalah firman Allah SWT. Yang menuntut untuk menjadikan suatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari suatu yang lain. 1. contoh firman Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain Artinya : ‘’ dirikan shalat sesudah matahari tergelincir’’ (Qs.Al-Isra : 78) Pada ayat tersebut, tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibnya shalat. 2. contoh firman Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai syarat : Artinya :‘’ dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin(dewasa)’’ (Qs. An-Nisa’ : 06) Ayat tersebut menunjukkan kedewasan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya. 3. contoh firman khitab Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang Artinya :‘’ pembunuh tidak dapat warisan’’. Hadits tersebut menunjukan penghalang untuk mendapatkan warisan. Dari pengertian hukum wudh’i tersebut di tunjukkan bahwa macam-macam hukum Wadh’I, yaitu: sebab, syarat, mani’ (penghalang). B. Macam-macam Hukum Wadh’i 1. Sebab Menurut bahasa adalah suatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Menurut istilah adalah suatu sifat yang di jadikan suatu syara’ sebagai adanya hukum.Dengan demikian terliahat keterkaitan hukum wadh’I dengan hukum taklifi.Hukum wadh’I hanya sebagai petunjuk untuk pelaksanaan hukum taqlifi. Tetapi para ulama’ fiqih menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash, buakan dari manusia, 2. Syarat Yaitu suatu yamg berada di luar hukum syara’, tapi keberadaan hukum syara’ bergantung padanya.Apabila syarat tidak ada maka hukum tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.Oleh sebaba itu hukum taqlifi tidak bisa diterapaka, kecuali bilamemenuhi syarat yang telah ditetapkan syara’. 3. Mani’ (penghalang) Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan.Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan pembagian warisan. Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani’ sangat erat. Penghalang itu ada bersamaan dengan sebab dan terpenuhinya syarat-syarat. Syari’-syari’ menetapkan bahwa suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya, memenuhi syarat-syarat dan tidak ada penghalang(mani’) dalam melaksanakannya. 4. Shihhah Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak ada mani’misalnya, mengerjakan shalat zhuhur setelah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudhu (syarat), dantidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya.Dalam contoh ini pekerjakan yang dilaksanakan hukumnya sah.Oleh sebab itu, apabila sebab tidak ada dan syaratnya tidak terpenuhi maka shalat itu tudak sah sekalipun mani’nya tidak ada. 5. Bathil Yaitu terlepasnya hukum syara’ ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya.Misalnya, menjual belikan minuman keras.Akad dianggap batal, karna minuman keras tidak dipandang harta oleh syara’. 6. ‘Azimah dan Rukhsah ‘Azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula.Artinya, belum ada hukum sebelum hukum itu disyariatkan Allah. Perbedaan Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i Ada beberapa perbedaan antara hukum al-taklifi dengan hukum al-wadh’I yang dapat disimpulkan dari berbagai hukum di atas. Perbedaan yang dimaksud, antara lain adalah : 1. Dalam hukum al-taklif terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih perbuatan atau tidak berbuat. Dalam hukum al-wadh’I itu tidak ada melainkan mengandung terkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang, dan syarat. 2. Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanaka, ditinggalkan, melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedang hukum al-wadh’I tidak di maksudkan langsung di kerjakan atau di lakukan mukallaf.Hukum al-wadh’I di tentuakn syari’ agar dapat dilaksanakn hukum al-taklif.Misalnya, zakat itu hukumnya wajib (hukum al-taklifi). 3. Hukum at-taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakn atau meninggalkannya, karena dalan hukum at-taklif tidak ada kesulita (masqqah) dan kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf sedangkan dalam hukum al-wadh’I hal ini tidak di persoalkan, karena musaqqah dan haraj dalam hukum al-wadh’I adakalanya dapat dipikul mukallaf, adakalanya di luar kemampuan mukallaf. 4. Hukum at-taklif di tujukan kepada para mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal; sedangkan hukum al-wadh’I di tunjukkan kepada manusia mana saja, baik telah mukallaf maupun belum, seperti anak kecil dan orang gila.
Al-Mujmal A. Pengertian Al-Mujmal Pengertian al-Mujmal hampir delapan pulu persen penggalian hukum syar’i menyangkut lafad. Agar tidak membingungkan pelaku hukum, maka lafadz yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas, kenyataannya petunjuk (dilalah) lafadz yang terdapat nash syara’ itu beraneka ragam, bahkan ada yang kurang jelas (khafah). Suatu lafad yang tidak mempunyai kemungkinan mk’na lain disebut mubayyan atau nash. Bila ada dua makna atau lebih tanpa di ketahui yang lebih kuat disebut mujmal. Namun bila ada makna yang lebih tegas dari makna yang lebih tegas dari makna yang ada disebut zhahir. Dengan demikian yang disebut Al-Mujmal secara bahasa ialah : samar-samar. Secara istilah berarti: lafadz yang maknanya yang tergantung pada lainnya, baik dalam menentukan salah satu maknanya baik dalam menentukan salah satu maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya. Sifat mujmal itu dapat terjadi pada kosa (mufradat). Contoh : lafat yang masi memerlukan lainnya untuk menentukan makna: kata “rapat” misalnya dalam bahasa indonesia memiliki dua makna : perkumpulan dan tidak ada celah. Sedangkan dalam al-Qur’an misalnya surah al-Baqarah: 228 وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ …… Kata “قُرُوءٍ” dalam ayat ini bisa berarti: suci atau haid. Sehingga untuk menentukan maknanya membutuhkan dalil yang lain. Contoh : lafadz yang membutuhkan lainnya dalam menjelaskan tatacaranya. Surah An-Nur : 56 وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ Kata “mendirikan shalat” dalam ayat di atas masih mujmal/belum jelas karena tidak diketahui tatacaranya, maka butuh dalil lalinya untuk memahami tatacaranya. Begitupula ayat Haji dan Puasa. Hukum melakasanakan lafadz mujmal bergantung pada bayan atau penjelasan. Demikian juga ada teori para ulama’ tentang tingkat kejelasan lafadz dan cara memadukan antara tingkat-tingkat jelas tidak suatu lafadz hal ini akan di uraikan lebih lanjut : a. Tingkatan lafadz dari segi kejelasannya. Ada dua kelompok pendapat tentang tinkat dilalah Lafadz dari segi kejelasan, golongan hanafiyah dan golongan mutakalimin. Masing-masing di gambarkan sebagai berikut : Pembagian lafadz itu sebenarnya dilihat dari segi mungkin dan tidak mungkinnya di takwil ataudi nasakh. Dilihat dari perinkat kejelasan lafadz itu menurut golongan Hanafiyah, dimulai dari yang jelas bersifat sederhana (zhahir), cukup jelas (nash), b. Pembagian lafadz dari segi Kejelasannya menurut ulama’ Hanafiyah 1. Zahir ialah : suatu nam bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafadz itu sendiri. Namun, lafazh itu tetap mempunyai kemungkinan lain, sehingga muhammad adip salih menyimpulkan bahwa zahir itu adalah suatu lafazh yang menunjukkan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa menunggu qorinah yang ada di luar lafazh itu sendiri, namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh. Contoh:”dan allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Masing-masing dari lafazh al-Bay’ dan ar-Riba yang mempunyai kemungkinan di takhsis. Kedudukan lafazh zahir adalah wajib diamalkan sesuai petunjuk lafazh itu sendiri sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, mentakwilnya, mennasakhnya. 2. Nasakh mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicaraan sendiri yang bisa diketahui dengan qorinah. Menurut bahasa, nasakh adalah raf’u asy-syai atau munculnya segala sesuatu yang tampak, sering disebut manashahat, menurut istilah ialah suatu lafazh yang maknanya lebih jelas dari pada zahir bila ia dibandingkan dengan lafazh zahir. Kedudukan lafazh nash : hukum lafazh zahir, yaitu wajib diamalkan petunjuknya atau dilalahnya asal tidak ada dalil yang menakwilnya. Perbedaan antara zahir dan nash kemungkinan takwil, takhsis atau nasakh pada lafazh nasakh lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafazh zahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh zahir dan lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh zahir pada lafazh nash. 3. Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas dilalah mufassar wajib diamalkan secara Qath’i sepanjang tidak ada dalil yang menasakhnya. Apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan dilalah nash dan zahir maka dilalah mufasaar harus didahulukan. Lafazh mufassar tidak mungkin dipalingkan dari maknanya karena tidak mungkin di takwil dan di takhsis melainka hanya bisa dinasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya. 4. Muhkam yaitu pasti dan tegas secara istilah muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh. C. Pengertian Mubayan Mubayan adalah : yang dinampakkan dan yang dijelaskan, secara istilah berarti lafadz yang dapat dipahami maknanya berdasar awalnya atau setelah dijelaskan oleh lainnya. Contoh lafadz yang dapat dipahami berrdasar awalnya. Misal kata langit, bumi, adil, dhalim dan sejenisnya kata-kata ini dapat dipahami berdasar asal awal terjadinya seperti itu. D. Kaidah al-Mujmal Wajib bagi orang mukallaf untuk mengamalkan yang mujmal manakalah ada dalil yangmenjelaskannya dari kemujmal.
BANK PERKREDITAN RAKYAT MENURUT ISLAM A. Pembahasan Masalah Lahirnya Bank Muamalah Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat (BPRS) yang dipakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) diharapkan dapat membantu pengembangan industri kecil yang termasuk golongan ekonomi lemah. BMI dan BPRS adalah bank Islam. Operasionalisasi Bank Islam didasarkan pada ajaran Al-qur’an dan sunah Rasul, yang dalam operasinya menggunakan sistem bagi hasil, ternyata mempunyai keunggulan jika dibandingkan dengan operasi Bank ”konvensional” yang ada. BMI yang beroperasi sejak tanggal 1 Mei 1992, menurut penilaian Bank Indonesia selaku Bank Sentral, dinyatakan cukup baik dan sehat. Pada neraca rugi/laba per 31 Desember 1993 yang dilaporkan harian Republika tanggal1 Februari 1994 menyebutkan bahwa laba yang diraih sebesar Rp.3.877.000.000,-. Dengan beroperasinya BMI dan BPRS membuktikan bahwa ajaran Islam dapat dioperasikan dibidang ekonomi dan keuangan yang sudah ada. Walaupun namanya pelengkap diharapkan dapat membantu mengatasi kesenjangan pendapatan diantara warga masyarakat golongan ekonomi lemah. Banyak pihak yang masih meragukan keberhasilan operasi Islam yang didasarkan bagi hasil dan tanpa bunga. Apabila kita perhatikan di Negara maju, suku bunga mempunyai peranan penting baik pada tingkat makro maupun mikro. Menurut teori ekonomi konvensional, bunga adalah merupakan keuntungan yang diterima oleh penabung karena menahan diri atau menangguhkan untuk tidak menggunakan miliknya, dan merupakan harga yang dibayar oleh peminjam yang lebih dahulu menggunakan dana tersebut. Namun apabila menggunakan perkembangan Bank Islam didunia, ternyata memberikan rasa optimis pada kaum muslimin, sebab Bank Islam tidak saja hanya tumbuh di kawasan dunia Islam, tetapi juga dikawasan non-Islam. Pada atahun 1994 diperkirakan terdapat sekitar 38 buah Bank Islam di dunia, dan sepuluh diantaranya berada diluar Arab, Negara-negara tersebut adalah Sudan, Mesir, Sinegal, Mauritania, Nigeria, Malasyia, Guinea. Sedang Negara-negara non-Islam terdapat di Luxemburg, Swiss, Denmark, Inggris, Afrika Selatan, Bahama dan Pilipina. 1. Produk Bank Fiqih Muamalah A. Produk Bank Konvensional Kegiatan usaha bank dalam melakukan penghimpunan dana masyarakat maupun dalam penyaluran dan dilakukan melalui produksi jasa keuangan. Hal ini karna produksi jasa keuangan dan bank dapat mempengaruhi peredaran uang di masyarakat, serta berpengaruh terhadap perekonomian. Oleh karna itu, produk jasa keuangan bank diatur oleh peraturan yang sifatnya mengikat dalam kegiatan oprasional bank, sehingga dapat memberikan keamanan bagi masyarakat dalam menyimpan dananya maupun bagi stabilitas ekonomi nasional. Di antara produk-produk bank, antara lain berikut: 1. Simpanan Menurut UU RI No.7 tahun 1992 tentang perbankkan, simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk bentuk lain yang disamakan denagan itu. 2. Giro Pengertian giro yaitu simpanan yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran dan penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, sarana pembayaran lainnya, atau dengan cara permindah bukuan. 3. Cek Cek adalah tidak bersyarat dari pemegang rekening (nasabah giro) kepada bank untuk membayar sejumlah uang tertentu. Dari definisi tersebut, ada 3 pihak yang memperoleh manfaat cek, yaitu nasabah, pihak bank dan pemegng cek. 4. Tabungan Pengertian Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakuakan menurut syarat tertetu yang disepakati, tetapi tidak dapat di tarik dengan cek atau alat yang dapat dipersamakan dengan itu. B. Operasi Bank Islam Berdasarkan Kepada Nilai-nilai: 1. Larangan Riba. Menurut hukum Islam, riba adalah haram. Hal ini tercantum secara jelas, dalam al-qur’an. dalam sunah Rasul dari Abu Hurairoh antara lain disebutkan : Hindarilah olehmu 7 (tujuh) perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, apakah itu? Nabi bersabda : yaitu menyekutukan Allah, Sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah selain alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling atau lari di kla perang, dan menuduh berzina terhadap wanita baik-baik. 2. Mengutamakan dan mempromosikan perdagangan dan jual beli. 3. Berbuat dan berlaku adil. 4. Kebersamaan dan tolong menolong. 5. Saling mendorong untuk meningkatkan prestasi. 6. Efisiensi dalam segala tindakan. Supaya umat Islam tegak berdiri sesuai dengan sunah Rasul dalam berniaga alangkah baiknya dipahami jenis-jenis riba. Secara garis besar terbagi dalam dua bagian. Pertama, riba hutang piutang yang dibedakan menjadi riba qard dan riba Jahiliyah. Kedua, riba jual beli yang dibedakan menjadi riba fadhl dan riba nasiah. Riba qard adalah suatu manfaat atau tigkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh). Riba Jahiliyah adalah hutang lebih dari pokoknya, karena sipeminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba fadhl adalah kelebihan pada salah satu barang jenis yang diperjual belikan dengan ukuran syara’. Riba Nasiah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berhutang kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia telah merasakan hasil-hasil dari pembangunan, namun ada kesulitan bagi golongan ekonomi lemah untuk mendapatkan kredit. Kesulitan permodalan yang seringkali menghadang pengusaha kecil disebabkan oleh kebijakan moneter. Dengan demikian diperlukan suatu kebijakan moneter yang mendukung dan mempermudah mendapatkan modal antara lain pengembangan lembaga keuangan yang langsung bergerak menangani golongan ekonomi lemah . C. Tujuan di dirikannya BPRS. a) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam. b) Meningkatkan pendapatan perkapita. c) Menambah lapangan dan kesempatan kerja. d) Mengurangi Urbanisasi. e) Membina semangat ukhuwah Islamiyah melalui kesejahteraan ekonomi. Sasaran yang diharapkan dapat segera dijaring tentunya seperti pengrajin, petani nelayan, pedagang kecil dan koperasi. Disinilah sasaran pengembangan ekonomi lemah yang diharapkan bisa “dibantu” BPRS. Dan kita tahu bahwa sebagian besar rakyat yang hidup dalam kemiskinan berada pada sektor ini. Islam adalah agama yang sangat menekankan pada pendidikan moral. Ini merupakan jawaban bagi dunia bisnis di Indonesia tentang tipisnya etika bisnis yang pernah muncul dipermukaan. Etika merupakan unsur penting dalam pengembangan profesionalisme dengan cirri-ciri sebagai berikut : 1. Mempunyai kemampuan dibidangnya. 2. Mempunyai standar untuk menilai hasil karyanya. 3. Berkembang melalui prestisme. 4. Berpegang pada kode etik. Etika ekonomi Islam menyangkut aturan-aturan tentang tata cara dalam berusaha dalam segala aspek kegiatan ekonomi menurut Al-qur’an dan sunah Rasul yang terdiri dari. 1. Jujur. Pihak Bank Islam memberikan amanat berupa pinjaman modal kepada nasabahnya dan nasabah menerima amanat tersebut supaya kepercayaan pihak Bank Islam lebih tinggi dan terpelihara. Hal tersebut merupakan realisasi etika ekonomi bisnis yang dianut oleh umat Islam. 2. Melunasi hutang. Umat Islam yang memanfaatkan potensi Bank Islam dengan meminjam dana berkewajiban mengembangkan modal yang dipinjamkan melalui usaha produktif supaya memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta dapat membayar semua pinjaman sesuai dengan kesepakatan. Ini perintah Allah. 3. Benar timbangan. Timbangan dari ukuran kuantitas dan kualitas merupakan salah satu penunjang dalam berusaha yang kadang-kadang memberikan peluang untuk melakukan kecurangan.Banyak firman Allah dalam Al-qur’an yang melarang mengurangi timbangan ini. 4. Tepat waktu. Waktu merupakan modal utama dalam mengembangkan suatu usaha ekonomi. Pentingnya waktu bisa dilihat dalam. 5. Persis hitungan. Kemampuan melakukan kalkulasi yang teliti merupakan dasar keberhasilan suatu usaha, sebab dengan kalkulasi yang tepat dapat diketahui tingkat keuntungan usaha yang dilakukan. 6. Empati. Empati adalah cepat tanggap untuk merasa berpikir, bersikap dan kalau perlu bertindak menanggapi suatu situasi dimana pihak-pihak lain sedang berperan dalam kondisi bagaimanapun, yang memiliki kaitan dengan ikhtiar yang sedang kita lakukan.
QIYAS Pengertian Qiyas secaa etimologi berarti Qadr (ukuran,bandingan). Apabila orang arab berkata qistu hadza bi dzaka, maka maksudnya, saya mengukur ini dengan itu. Adapun secara etimologi, terdapat beberapa definisi qiyas yang dirumuskan ulama, tiga definisi diantaranya adalah : 1. Menurut Ibnu as-Subki, qiyas ialah : Menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain karena adanya kesamaan ‘illah hukum menurut mujtahid yang menyamakan hukumnya. 2. Menurut al-Amidi, qiyas ialah : Keserupaan antara cabang dan asal pada ‘illah hukum asal menurut pandangan mujtahid dari segi kemestian terdapatnya hukum (asal) tersebut pada cabang. 3. Menurut Wahbah az-Zuhaili, qiyas ialah : Menghubungkan suatu masalah yang tidak terdapat nashsh syara’ tentang hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nashsh hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari segi ‘illah hukum. Unsur-Unsur Qiyas Meskipun definisi di atas berbeda-beda redaksinya, tetapi pada hakikatnya terdapat kesamaan makna, dimana dalam definisi mereka terdapat unsur-unsur qiyas yaitu : al-ashl (dasar;pokok), al-far’u (cabang), hukum ashl dan ‘illah. 1. Al-ashl (Dasar: Pokok) As-ashl ialah sesuatu yang telah ditetapkan ketentuan hukmnya berdasarkan nashsh, baik nashsh tersebut berupa Al-Qur’an maupun Sunnah. Dalam istilah lainnya, al-ashl ini disebut juga dengan maqis ‘alaih (yang di-qiyas-kan atasnya) atau musyabbahbih (yang diserupakan dengannya). Mengenai unsur pertama ini, beberapa ulama menetapkan pula beberapa persyaratan sebagai berikut: a. Al-ashl tidak mansukh, artinya hukum syara’ yang akan menjadi sumber peng-qiyas-an itu masih tetap berlaku pada masa hidup Rasulullah saw. Apabila telah dhapuskan ketentuan hukumnya, maka ia tidak dapat menjadi al-ashl. b. Hukum syara’, persyaratan ini sangat jelas dan mutlak, sebab yang hendak ditemukan ketentuan hukumnya melalui qiyas adalah hukum syara’, bukan ketentuan hukum yang lain. c. Bukan hukum yang dikecualikan, jika al-ashl tersebut merupakan pengecualian, maka tidak dapat menjadi wadah qiyas. Misalnya, ketetapan sunnah bahwa puasa karena lupa tidak batal. Ketentuan ini tidak dapat menjadi ashl al-qiyas untuk menetapkan tidak batalnya puasa orang yang berbuka puasa karena terpaksa. 2. Al-far’u (Cabang) Al-far’u ialah masalah yang hendak di-qiyas-kan yang tidak ada ketentuan nashsh yang menetapkan hukumannya. Unsur ini disebut juga dengan maqis, atau mahal asy-syabh. Terhadap unsur ini, para ulama menyebutkan beberapa syarat sebagai berikut : a. Sebelum di-qiyas-kan tidak pernah ada nashsh lain yang menentukan hukumnya. Jika lebih dahulu telah ada nashsh yang menentukan hukumannya, tentu tidak perlu dan tidak boleh dilakukan qiyas terhadapnya. b. Adanya kesamaan antara ‘illah yang terdapat dalam al-ashl dan yang terdapat dalam al-far’u. c. Tidak terdapat dalil qath’i yang kandungannya berlawanan dengan al-far’u. d. Hukum yang terdapat dalam al-ashl bersifat sama dengan hukum yang terdapat dalam al-far’u. 3. Hukum Ashl Hukum ashl ialah ialah hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nashsh tertentu baik dari al-Qur’an maupun sunnah. Terhadap unsur ketiga ini para ulama mengatakan syarat-syaratnya sebagai berikut: a. Hukum tersebut adalah hukum syara’, bukan yang berkaitan dengan hukum aqliyyat atau adiyyat dan atau lughawiyyah. b. ‘illah hukum tersebut dapat ditemukan; bukan hykum yang tidak dapat dipahami ‘illahnya(ghair ma’qulah al-ma’na) c. Hukum ashl tidak temasuk dalam kelompok yang menjadi khushusiyyah Rasulullah SAW. d. Hukum ashl tetap berlaku setelah wafatnya rasulullah SAW; bukan ketentuan hukum yang sudah dibatalkan (mansukh). Contoh unsur ketiga ini, dikaitkan dengan unsur pertama dan kedua ialah, hukum haramnya khamr. 4. ‘Illah ‘Illah ialah suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi, dan sejalan denag tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum. Para ulama’menetapkan beberapa syarat terhadap suatu ‘illah hukum, agar dipandang sah sebagai ‘illah yaitu sebagai berikut : a. Zhahir ialah mestilah suatu sifat yang jelas dan nyata, dapat disaksikan dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan yang lain. b. ‘Illah harus mengandung hikmah yang sesuai dengan kaitan hukum dan tujuan hukum. c. Mudhabithah ialah ‘illah mestinya sesuatu yang dapat diukur dan jelas batasnya. d. Mula’im wa munasib ialah suatu ‘illah harus memiliki kelayakan dan memiliki hubungan yang sesuai antara hukum dan sifat yang dipandang sebagai ‘illah. e. Muta’addiyah ialah suatu sifat yang terdapat bukan hanya pada peristiwa yang ada nashsh hukumnya, tetapi juga terdapat pada peristiwa-peristiwa lain yang hendak ditetapkan hukumnya. PERBEDAAN ANTARA ‘ILLAH, SABAB DAN HIKMAH Adapun perbedaan antara ‘illah dan sabab ialah sebagaimana telah dijelaskan, ‘illah adalah suatu sifat yang nyata, sesuai dengan tujuan hukum, dan terukur, dimana asy-syari’ menjadikannya sebagai gantungan adanya hukum. Dan sabab (sebab) adalah suatu sifat yang nyata dan terukur, di mana asy – syari’ menjadikannya sebagai gantugan/kaitan adanya hukum, baik sifat tersebut memiliki unsut munasib (hubungan yang serasi ) dengan hukum itu sendiri (seperti contoh ‘illah di atas), maupun tidak terlihat adanya keserasian hubungan antara sifat tersebut dengan hukumnya. Bahwa sabab lebih bersifat umum daripada ‘illah, di mana sifat hukum yang menjadi ‘illah mesti memiliki kesesuaian yang serasi (munasib), dengan hukumnya, sedangkan sebab tidak mesti memiliki unsur munasib. Sedangkan hikmah ialah dampak yang timbul dalam bentuk lahirnya manfaat atau terhindarnya kemudhorotan dari adanya hubungan antara hukum dengan ‘illah atau sababnya dengan kata lain hikmah menggambarkan tujuan penetapan hukum itu sendiri, dalam hal ini para ulama’ sepakat bahwa ada atau tidak adanya ketentuan hukum tertentu tergantung pada ada atau tidak adanya ‘illah atau sababnya, meskipun terkadang hikmah yang ditimbulkannya berbeda-beda. Cara Menentukan ‘Illah Unsur-unsur qiyas yang keempat yaitu masalah ‘illah dengan kata lain persoalan ‘illah merupakan masalah yang palinh mementukan untuk menilai keabsahan suatu qiyas. Beberapa hal berikut ini yang berkaitan dengan cara menentukan ‘illah. Untuk mementukan ‘illah terkadang ditemukan petunjuk yang jelas tetai terkadang petunjuk tersebut tidak jelas. Pada kasus yang lain ada pula petunjuk yang bersifat langsung untuk memenukannya, tetapi ada pula yang tidak langsung. Cara menentukan dan mememukan ‘illah iti sendiri dalam ushul fiqh disebut dengan istilah masalik al-‘illah. Ada beberapa cara untuk menemukan adanya ‘illah dalam suatu hukum salah satu diantaranya adalah nashsh. Tingkatan-Tingkatan Qiyas Tingkatan-tingkatan qiyas dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu dari segi kejelasan, kekuatan, penyebutan, kesrasian ‘illah, dan dari segi metode penemuan ‘illahnya. Ditinjau dari kejelasan ‘illahnya dibagi menjadi dua bagian: 1. Qiyas al-jali (qiyas yang nyata), terdiri atas dua macam yaitu : a. Suatu qiyas yang ‘illah hukumnya bersifat nyata karena disebutkan oleh nashsh. b. Suatu qiyas yang ‘illahny atidak disebutkan di dalam nashsh, tetapi tidak ada kesamaran untuk mengetahui persamaan ‘illah itu di dalam al-ashl dan al-far’u. 2. Qiyas al-khafi (qiyas yang tersembunyi) Yaitu suatu qiyas yang ‘illahnya tidak disebutkan di dalam nashsh secara nyata, sehingga untuk menemukan ‘illah hukumnya memerlukan ijtihad. Ditinjau dari segi kekuatan atau lemahnya ‘illah yang terdapat pada al-far’u lebih kuat dibandingkan dengan ‘illah yang terdapat pada al-ashl, tingkatan qiyas terdiri atas tiga tingkatan, yaitu : a. Qiyas al-awla (qiyas yang lebih utama) Adapun yang dimaksud dengan qiyas al-awla suatu qiyas yang ‘illahnya pada al-far’u lebih kuat dibandingkan dengan al-ashl, sehingga penerapan hukum yang terdapat pada al-ashl lebih utama diterapkan pada al-far’u. b. Qiyas al-musawi (qiyas yang setara) Adapun yang dimaksud dengan qiyas al-musawi ialah suatu qiyas yamg memiliki kekuatan ‘illah yang sama yang terdapat pada al-ashl dan al-far’u, sehingga hukumnya juga sama pada al-ashl dan al-far’u. c. Qiyas al-adna (qiyas yang lebih rendah) Adapun yang dimaksud dengan qiyas al-adna ialah qiyas yang ‘illah hukum yang terdapat pada al-far’u lebih lemah dari pada ‘illah yang terdapat pada al-ashl. Meskipun ‘illah hukumnya lebih lemah, namun ketentuan hukum yang terdapat pada al-ashl tetap memenuhi syarat untuk ditetapkan pada al-far’u. Selanjutnya, tingkatan ‘illah ditinjau dari segi disebutkan atau tidak disebutkannya ‘illah tersebut dalam al-ashl, dapat dibagi pada dua tingkatan yaitu qiyas al-‘illah dan qiyas al-ma’na yaitu : a) Qiyas al-‘illah yaitu qiyas yang ‘illahnya disebutkan secara jelas dalam al-ashl. Berdasrkan al-ashl yang ‘illahnya jelas inilah diterapkan hukumnya kepada al-far’u yang juga memiliki ‘illah yang sama yang terdapat di dalamnya. b) Qiyas al-ma’na yaitu qiyas yang tidak disebutkan secara jelas dalam al-ashl, tetapi dapat dipahami dengan jelas adanya sesuatu yang menurut logika hukum bahwa ia adalah ‘illah hukum tersebut, ‘illah ini kemudian menjadi dasar untuk menetapkan pada al-far’u yang memiliki persamaan dari segi ‘illah.

Kamis, 21 Juni 2012

puasa

A. Latar Belakang Puasa merupakan salah satu dari rukun islam kita sebagai umat muslim wajib menjalankan puasa agar kita lebih mengerti apa puasa itu dan semoga kita menjadi penguasa diri kita sendiri dengan berpuasa. Dengan berpuasa kita harus dapat mengendalikan diri kita,hal yang utama yang harus kita lakukan dalam pelaksanaan puasa adalah kita harus menjadi penguasa dan raja bagi diri kita sendiri kita harus benar-benar mengendalikan menurut aturan Ilahi yang berlaku. Kalau berbicara harus kita kendalikan demikian juga dengan mata semuanya harus kita kendalikan dengan baik. Mungkin kadang ada bertanya kenapa kita tetap sengsara, atau mengapa hidup kita gelisah dan tidak tenang ? jawaban yang tepat adalah karena kita tidak dapat mengendalikan diri kita sendiri. Pada saat puasa kita harus seperti kepongpong masuk seperti ulat berbulu yang ditakuti dan menjijikan dan keluar sebagai kupu-kupu yang indah yang begitu disenangi banyak orang, yang dapat kita artikan sebusuk dan sekotor apapun diri kita ,setelah menjalankan ibadah puasa ini kita harus menjadi orang yang memiliki kepribadian yang indah dan bermanfaat bagi dirikita sendiri dan orang lain. Dengan berpuasa inilah kesempatan yang baik untuk megembleng diri agar menjadi terindah dan terbaik. Rasulullah mensinyalir,umat islam akan banyak melaksanakan puasa ,hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. Rasulullah sudah mensinyalir demikian memang demikian keadaannya karena semua yang dikatakan dan dilakukan Rasulullah semua itu benar adanya dan tidak ada yang salah. Puasa tidak hanya menahan diri dari makan dan minum tapi harus menahan diri dari hal-hal yang akan merusak pahala puasa bitu sendiri ibadah puasa yang pokok adalah “menahan makan,minum,dan hawa nafsu mulai terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari” akan tetapi kita juga harus menahan nafas, bibir, mata, dan semua anggota badan kita dari hal-hal yang akan mebatalkan puasa. Jika menurut mata sesuatu itu enak dilihat ,tetapi akan merusak amalan puasa maka tundukanlah . Demikian pula dengan bibir kita harus berhenti untuk tidak bicara yang tidak baik dan berguna. Mudah-mudahan setelah mulut,mata ,dan seluruh anggota badan kita bersih dengan menahan diri dari segala sesuatu yang tidak baik semoga hati kita menjadi bersih , dan hal ini merupakan puncak dari dari segala keindahan menikmati hidup di dunia ini. Karena orang yang hatinya bersih akan menjadi cahaya bagi diri sendiri dan orang lain. Adapun macam-macamnya puasa akan dijelaskan sebagai berikut : Pertama, Puasa fardhu ialah puasa yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan syariat Islam. Yang termasuk ke dalam puasa fardhu antara lain : a. Puasa bulan Ramadhan Puasa dalam bulan Ramadhan dilakukan berdasarkan perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an sebagai berikut :        ••                                         “Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” b. Puasa Kafarat Puasa kafarat adalah puasa sebagai penebusan yang dikarenakan pelanggaran terhadap suatu hukum atau kelalaian dalam melaksanakan suatu kewajiban, sehingga mengharuskan seorang mukmin mengerjakannya supaya dosanya dihapuskan, bentuk pelanggaran dengan kafaratnya c. Puasa Nazar Puasa nadzar adalah puasa yang tidak diwajibkan oleh Tuhan, begitu juga tidak disunnahkan oleh Rasulullah saw., melainkan manusia sendiri yang telah menetapkannya bagi dirinya sendiri untuk membersihkan (Tazkiyatun Nafs) atau mengadakan janji pada dirinya sendiri bahwa apabila Tuhan telah menganugerahkan keberhasilan dalam suatu pekerjaan, maka ia akan berpuasa sekian hari . Yang kedua yaitu Puasa sunnat (nafal) adalah puasa yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa. Adapun puasa sunnat itu antara lain : 1. Puasa 6 (enam) hari di bulan Syawal 2. Puasa Tengah bulan (13, 14, 15) dari tiap-tiap bulan Qomariyah 3. Puasa hari Senin dan hari Kamis. 4. Puasa hari Arafah (Tanggal 9 Dzulhijjah atau Haji) 5. Puasa tanggal 9 dan 10 bulan Muharam. 6.Puasa nabi Daud as. (satu hari bepuasa satu hari berbuka) saja. 7. Puasa bulan Rajab, Sya’ban dan pada bulan-bulan suci Yang ketiga yaitu puasa makruh , Menurut fiqih 4 (empat) mazhab, puasa makruh itu antara lain : 1. Puasa pada hari Jumat secara tersendiri 2. Puasa sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan 3. Puasa pada hari syak (meragukan) 4. Mengkhususkan bulan rajab untuk berpuasa 5. Puasa dahr 6. Puasa khusu pada hari sabtu Yang keempat Puasa haram ialah puasa yang dilarang dalam agama Islam. Puasa-puasa tersebut antara lain: 1. Puasa pada dua hari raya 2. Puasa seorang wanita dengan tanpa izin suami 3. Puasa pada hari tasyrik 4. Puasa pada tanggal 12 robi’ul awwal 5. Puasa 27 rajab 6. Puasa pada hari nisfu sya’ban http://peperonity.com/go/sites/mview/assunnah.tuntunan.ibadah.ramadhan/15657500 diakses tanggal 15 Agustus 2010 http://www.facebook.com/home.php?#!/photo.php?pid=253210&op=1&o=global&view=global&subj=100000067804657&id=100000662467041 diakses tanggal 15 Agustus 2010 http://www.facebook.com/notes/muhammad-zainuddin/hukum-hukum-yang-berkaitan-dengan-puasa-ramadhan/419704869350 diakses tanggal 15 Agustus 2010 http://www.facebook.com/home.php?#!/photo.php?pid=409004&id=100000067804657&ref=fbx_album diakses tanggal 15 Agustus 2010

khawarij

SEKILAS SEJARAH KHAWARIJ Pasca pembunuhan Utsman, suasana memang begitu kacau, umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok. Tidak semua umat Islam membai’at Ali. Di Syam, Mu’awiyah yang masih kerabat Utsman menuntut balas kepada Ali atas kematian Utsman, Ia menuduh Ali dibelakang kaum pemberontak. Perlawanan Mu’awiyah bahkan dinyatakan secara terbuka dengan mengangkat dirinya sebagai khalifah tandingan di Syam, dan mengerahkan tentaranya untuk memerangi Ali. Sedangkan di Mekah, Aisyah menggalang kekuatannya bersama Thalhah dan Zubeir untuk melawan Ali, namun Ali tetap dianggap sah menduduki jabatan khalifah, karena di dukung sebagian besar rakyat. Kebijakan pertama Ali saat diangkat menjadi khalifah adalah memberhentikan gubernur-gubernur yang diangkat Utsman dan menarik kembali tanah negara yang telah dibagi-bagikan Ustman kepada kerabatnya. Ali mengangkat Usman ibn Junaif menjadi Gubernut Basrah menggantikan Abdullah ibn Amir, Umarah ibn Syihab gubernur Kufah menggantikan Sa’d ibn al Ash. Sedangkan kebijakan Ali mendapatkan tantangan keras dari mereka yang digeser kedudukan oleh Ali. Di sisi lain penduduk Madinah sendiri tidak bulat mendukung Ali. Posisi Ali benar-benar sulit, Ia terjepit antara keinginan untuk memperbaiki situasi Negara yang sudah chaos dengan ambisi lawan-lawan politiknya yang selalu menjegalnya. Kondisi Madinah yang tidak memungkinkan menjalankan pemerintahan, Ali memindahkan ibukota Negara di Kufah, disini Ali mendapat dukungan penuh dari rakyat. Di Syam Mu’awiyah mempersiapkan pasukannya untuk menghadapi Ali, mendengar khabar tersebut Ali segera memimpin pasukan memerangi Mu’awiyah, namun sebelum rencana itu terlaksana, ternyata trio Aisyah, Thalhah dan Zubeir telah bersiap memberontak kepadanya. Dari Mekah mereka menuju Basrah, Ali pun membelokan pasukannya ke Basrah untuk memadamkan pemberontakan, namun terlebih dahulu Ali menawarkan perdamaian dan mengajak mereka berunding tapi tawaran Ali ditampik, maka tak dapat dihindari terjadi perang yang dinamakan perang Barunta, pasukan Ali menang Thalhah dan Zubeir tewas, Aisyah dikembalikan ke Madinah secara terhormat. Setelah itu Ali mengalihkan perhatiannya ke Mu’awiyah, Ali mengirimkan surat ke Mu’awiyah dan menawarkan perundingan, akan tetapi Mu’awiyah tetap pada pendiriannya dan terkesan membuka perang saudara, maka terjadilah pertempuran di Shiffin pada bulan Safar tahun 37 H. Banyak tentara di kedua belah pihak yang gugur, ketika Ali hampir memperoleh kemenangan, Amr ibn al Ash yang berada di barisan Mu’awiyah mengangkat mushaf menandakan damai. Maka perangpun dihentikan dan diadakan tahkim (perundingan) antara kedua belah pihak. Dalam tahkim ini pihak Ali diwakilkan oleh Abu Musa al Asy’an dipecundangi oleh siasat Amr yang mewakili Mu’awiyah. Tahkim ini menghasilkan keputusan yang timpang Ali diturunkan dari jabatan dan Mu’awiyah naik memperkuat posisinya menjadi khalifah. Kejadian ini menimbulkan krisis baru dan pembangkangan yang dilakukan oleh sekelompok muslim yang kebanyakan dari Bani Tamim. Mereka menyatakan ketidakpuasan terhadap proses dan hasil perundingan tersebut dengan menyatakan “Laa hukma illallah”. Ali pun memberi komentar dengan ucapan yang mansyhur,”Kata-kata haq yang dimaksudkan bathil, sungguh mereka tidak ingin adanya pemimpin dan harus ada pemimpin yang baik ataupun jahat”. Sekelompok orang yang membangkang tadi lalu berkumpul menuju Haruraa, suatu tempat yang tidak jauh dari Kufah, sehingga Ali menyusul mereka bermaksud meluruskan dan kembali kepadanya dalam satu barisan. Di hadapan mereka, Ali menyatakan,”Demi Allah, tahukan kalian, adakah seorang yang lebih tidak menyukai kepemimpinan daripada aku ?”. “sungguh tidak ada seorang pun” jawab mereka “Bukankah kalian telah mengerti” lanjut Ali kemudian,”kalian lah yang memaksaku menjadi khalifah, sehingga aku menerimanya ?”. “Ya benar”. “Jadi atas dasar apa kalian mengingkari dan mencampakkan aku?” “sesungguhnya kami telah melakukan perbuatan dosa, maka kami pun kini bertaubat kepada Allah”. Jawab mereka setelah menyadari kesalahan mereka. Namun kesadaran itu tidak lama mengendap di hati mereka, sehingga mereka kembali kepemikiran semula, karena mengira bahwa Ali telah melepas tampuk pimpinan. Kemudian Ali mengutus Abdullah Ibnu Abbas untuk menyadarkan mereka kembali, agar tidak terjadi fitnah yang lebih besar dalam tubuh umat Islam. Namun mereka tetap pada pendiriannya dan keluar dari kelompok Ali. Akhirnya mereka sepakat membai’at Abdullah bin Wahb Ar Rasibi sebagai pemimpin mereka. Abdullah kemudian dikenal dengan Haruriyyah, yang berasal dari Harura, nama desa saat pertama mereka dalam pelarian. Mereka juga dikenal dengan istilah Muhakamah, karena mereka mengatakan “Laa hukma illallah”. Banyak orang dari kalangan Ali yang keluar dan bergabung dengan jamaah tadi, mereka menamakan dirinya Asysyuraat, artinya yang mempunyai sifat jelek dan bermakna menjelekan diri mereka sendiri dengan mengharapkan keridhaan Allah swt. Tidak begitu lama keluar dari kelompok Ali, mereka menunjukan cacat dalam ucapan maupun amaliyahnya. Pandangan dan pemikiran mereka mulai menyimpang dari kebenaran. Mereka mengecam Ali, menjelek-jelekannya serta mengajukan protes terhadap kepemimpinan Ali. Mereka juga mengecam khalifah terdahulu, Utsman bin Affan serta mencela setiap orang yang tidak mau memusuhi Ali. Dalam menghadapi mereka, Ali bersikap defensive tapi setelah mereka mulai menggunakan kekerasan dengan terbunuhnya Abdullah bin Khabab. Pertarungan antara pihak Ali dan kelompok khawarij membawa korban pada pihak khawarij termasuk pemimpin mereka Ibnu Wahb, peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Nahrawan. Sebenarnya Ali memiliki kesempatan untuk menghabisi Khawarij dengan tuntas, namun Khawarij mengirimkan Abdurrahman bin Maljan Al Muradi untuk membunuh Ali, usaha ini berhasil, Ali terbunuh di Masjid. Setelah Ali wafat, kegiatan Khawarij mulai merajalela, mereka selalu melibatkan diri dalam berbagai fitnah, terutama pada masa Khalifah Mu’awiyah. Sepeninggal Mu’awiyah kegiatan mereka semakin menonjol pada akhir masa kekhalifahan Yazid bin Mu’awiyah. Kegiatan kaum Khawarij masih terbatas hanya di bagian timur wilayah Islam dalam kurun waktu yang cukup lama. Mungkin kelompok ini satu-satunya kekuatan yang dianggap berbahaya bagi wilayah sekitar Basrah. Kegiatan Khawarij baru keluar dari sarangnya hingga ke Afrika pada masa pemerintahan Abbasiyyah. Dalam mengajak umat mengikuti garis pemikiran mereka, kaum Khawarij sering menggunakan kekerasan dan pertumpahan darah. Khawarij terbagi menjadi delapan besar firqah, dan dari delapan firqah besar tersebut masih terbagi lagi dalam firqah-firqah kecil yang jumlahnya sangat banyak. Pepercahan inilah yang membuat Khawarij menjadi lemah dan mudah sekali dipatahkan dalam berbagai pertempuran menghadapi kekuatan militer Bani Umayyah. Khawarij menganggap perlu pembentukan republic demokrasi Arab, mereka menganggap pemerintahan Bani Umayyah sama seperti pemerintahan kaum aristocrat kafir. Sekalipun Khawarij telah beberapa kali memerangi Ali dan melepaskan diri dari kelompok Ali, dari mulut mereka masih terdengar kata-kata haq. Iman Al Mushannif misalnya, pada akhir hayatnya mengatakan,”Janganlah kalian memerangi Khawarij sesudah aku mati. Tidaklah sama orang yang mencari kebenaran kemudian dia salah, dengan mencari kebathilan lalu ia dapatkan. Amirul mukminin mengatakan, bahwa Khawarij lebih mulia daripada Bani Umayyah dalam tujuannya, karena Bani Umayyah telah merampas khalifah tanpa hak, kemudian mereka menjadikannya hak warisan. Hal ini merupakan prinsip yang bertentang dengan Islam secara nash dan jiwanya. Adapun Khawarij adalah sekelompok manusia yang membela kebenaran aqidah agama, mengimaninya dengan sungguh-sungguh, sekalipun salah dalam menempuh jalan yang dirintisnya”. Khalifah yang adil Umar bin Abdul Azis, menguatkan pendapat khalifah keempat yakni Ali, dalam menilai Khawarij dan berbaik sangka kepada mereka, “Aku telah memahami bahwa kalian tidak menyimpang dari jalan hanya untuk kedunian, namun yang kalian cari adalah kebahagian di akhirat, hanya saja kalian menempuh jalan yang salah”. Sebetulnya, yang merusak citra Khawarij adalah sikap mereka yang begitu mudah menumpahkan darah, terlebih lagi darah umat Islam yang menentang atau berbeda dengan pemikiran mereka. Dalam pandangan mereka darah orang Islam yang menyalahi pemikiran mereka lebih murah dibanding darah non muslim. Walaupun Khawarij berkelompok-kelompok dan bercabang-cabang, mereka tetap berpandangan sama dalam dua prinsip : Pertama : Persamaan pandangan mengenai kepemimpinan. Mereka sepakat bahwa khalifah hendaknya diserahkan mutlak kepada rakyat untuk memilihnya, dan tidak ada keharusan dari kabilah atau keturunan tertentu, seperti Quraisy atau keturunan nabi. Kedua : Persamaan pandangan yang berkenaan dengan aqidah. Mereka berpendapat bahwa mengamalkan perintah-perintah agama adalah sebagian dari iman, bukan iman secara keseluruhan. Siapa saja yang beriman kepada Allah, kepada rasul-Nya, medirikan sholat, berpuasa dan mengamalkan segala rukun Islam dengan sempurna lalu ia melakukan dosa besar, maka orang tersebut menurut anggapan Khawarij telah kafir.( http://forum.dudung.net/index.php?topic=12199.0) Khawarij: Sejarah, Perkembangan, Dan Prinsipi-Prinsipnya Rabu, 25/08/2010 09:31 WIB | email | print Kaum Khawarij bisa dibilang menjadi salah satu gerakan Islam yang paling tua dalam sejarah dunia. Khawārij (bahasa Arab: خوارج baca Khowaarij, secara harfiah berarti "mereka yang keluar") ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Asal Mula Khawarij Khawarij pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah. Gerakan Khawarij berakar sejak Khalifah Utsman bin Affan dibunuh, dan kaum Muslimin kemudian mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, kaum Muslimin mengalami kekosongan kepemimpinan selama beberapa hari. Kabar kematian 'Ustman kemudian terdengar oleh Mu'awiyyah bin Abu Sufyan. Mu’awiyyah yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan 'Ustman bin Affan, merasa berhak menuntut balas atas kematian 'Ustman. Mendengar berita ini, orang-orang Khawarij pun ketakutan, kemudian menyusup ke pasukan Ali bin Abi Thalib. Mu'awiyyah berpendapat bahwa semua orang yang terlibat dalam pembunuhan 'Ustman harus dibunuh, sedangkan Ali berpendapat yang dibunuh hanya yang membunuh 'Ustman saja, karena tidak semua yang terlibat pembunuhan diketahui identitasnya. Akhirnya meletuslah Perang Siffin karena perbedaan dua pendapat tadi. Kemudian masing-masing pihak mengirim utusan untuk berunding, dan terjadilah perdamaian antara kedua belah pihak. Melihat hal ini, orang-orang Khawarij pun menunjukkan jati dirinya dengan keluar dari pasukan Ali bin abi Thalib. Mereka (Khawarij) merencanakan untuk membunuh Mu'awiyyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib, tapi yang berhasil mereka bunuh hanya Ali bin Abi Thalib saja. Orang-orang Khawarij ini keluar dari kepimpinan Ali bin Abi Thalib dengan dalih salah satunya bahwa Ali tidak tegas. Orang Khawarij ketika itu sering berkumpul di suatu tempat yang disebut Khouro—di daerah Kufah. Oleh sebab itulah mereka juga disebut Al Khoruriyyah. Dalam mengajak umat mengikuti garis pemikiran mereka, kaum Khawarij sering menggunakan kekerasan dan pertumpahan darah. Perkembangan Khawarij Khawarij terbagi menjadi delapan besar firqah, dan dari delapan firqah besar tersebut masih terbagi lagi dalam firqah-firqah kecil yang jumlahnya sangat banyak. Pepercahan inilah yang membuat Khawarij menjadi lemah dan mudah sekali dipatahkan dalam berbagai pertempuran menghadapi kekuatan militer Bani Umayyah. Khawarij menganggap perlu pembentukan Republik Demokrasi Arab, mereka menganggap pemerintahan Bani Umayyah sama seperti pemerintahan kaum Aristokrat Barat. Sekalipun Khawarij telah beberapa kali memerangi Ali dan melepaskan diri dari kelompok Ali, dari mulut mereka masih terdengar kata-kata haq. Iman Al Mushannif misalnya, pada akhir hayatnya mengatakan,”Janganlah kalian memerangi Khawarij sesudah aku mati. Tidaklah sama orang yang mencari kebenaran kemudian dia salah, dengan mencari kebathilan lalu ia dapatkan. Amirul mukminin mengatakan, bahwa Khawarij lebih mulia daripada Bani Umayyah dalam tujuannya, karena Bani Umayyah telah merampas khalifah tanpa hak, kemudian mereka menjadikannya hak warisan. Hal ini merupakan prinsip yang bertentangan dengan Islam secara nash dan jiwanya. Adapun Khawarij adalah sekelompok manusia yang membela kebenaran aqidah agama, mengimaninya dengan sungguh-sungguh, sekalipun salah dalam menempuh jalan yang dirintisnya”. Khalifah yang adil Umar bin Abdul Azis, menguatkan pendapat khalifah keempat yakni Ali, dalam menilai Khawarij dan berbaik sangka kepada mereka, “Aku telah memahami bahwa kalian tidak menyimpang dari jalan hanya untuk keduniaan, namun yang kalian cari adalah kebahagian di akhirat, hanya saja kalian menempuh jalan yang salah”. Sebetulnya, yang merusak citra Khawarij adalah sikap mereka yang begitu mudah menumpahkan darah, terlebih lagi darah umat Islam yang menentang atau berbeda dengan pemikiran mereka. Dalam pandangan mereka darah orang Islam yang menyalahi pemikiran mereka lebih murah dibanding darah non-Muslim. Prinsip-Prinsip Khawarij Walaupun Khawarij berkelompok-kelompok dan bercabang-cabang, mereka tetap berpandangan sama dalam dua prinsip : Pertama; Persamaan pandangan mengenai kepemimpinan. Mereka sepakat bahwa khalifah hendaknya diserahkan mutlak kepada rakyat untuk memilihnya, dan tidak ada keharusan dari kabilah atau keturunan tertentu, seperti Quraisy atau keturunan Nabi. Kedua; Persamaan pandangan yang berkenaan dengan aqidah. Mereka berpendapat bahwa mengamalkan perintah-perintah agama adalah sebagian dari iman, bukan iman secara keseluruhan. (p://www.eramuslim.com/berita/gerakan-dakwah/khawarij-sejarah-perkembangan-dan-prinsipi-prinsipnya) 1] dakwatuna.com - Surat-surat yang pertam a turun adalah yang berkaitan dengan masalah aqidah. Oleh karena itu untuk m emahami bagaim ana Rasulullah saw. m emaham i aqidah, kita harus benar-benar m emaham i ayat-ayat atau surat-surat Makiyah tersebut. Manhaj aqidah secara um um dibagi dua: m anhaj yang benar lagi menyeluruh ﻟ ﻤﻨ ﮭﺎ ج اﻟ ﺼﺤﯿ ﺢ اﻟ ﺸﺎﻣﻞ ) dan manhaj yang parsial ( اﻟﻤﻨﮭﺎ ج اﻟ ﺠﺰئ). Disebutkan dalam atsar yang diriwayatkan Abdullah bin Umar oleh Al Hakim bahwa generasi umat dibagi jadi dua: (1) umat yang diberi keim anan terlebih dahulu, kem udian baru diberi Al Qur’an (2) um at yang mengambil pelajaran Al Qur’an lebih dahulu sebelum didapatkan keim anan. Kem udian Atsar itu m enyebutkan perilaku dari kedua kelom pok generasi itu, dim ana kelom pok yang pertama terdiri dari para Salafushshaleh dan pem besar pem besar sahabat yang m engetahui yang diwajibkan dari yang dilarang dan alasannya; sem entara kelom pok yang kedua cuma pandai m embaca Al Qur’an dengan lancar dan mengkhatam kannya dengan cepat tanpa tahu m ana yang diperintahkan dan m ana yang dilarang serta batasan batasannya. Pada akhirnya kedua kelompok ini melahirkan m anhaj yang berbeda, dan dari kelompok yang kedualah munculnya Al Firaq Al Bathilah (aliran aliran yang sesat), di antaranya Al Khawarij. Tujuan pembahasan Firaq Bathilah ini agar pada kita tidak terjadi Firaq ini, sebagaimana yang pernah ditanyakan oleh Hudzaifah bin Al Yaman dalam sebuah haditsnya yang panjang. ﻛﺎ ن اﻟﻨﺎ س ﯾ ﺴﺄﻟ ﻮن رﺳﻮل اﷲ ) ص ( ﻋﻦ اﻟ ﺨﯿ ﺮ وﻛﻨ ﺖ ا ﺳﺄﻟﮫ ﻋﻦ اﻟ ﺸﺮ ﻣﺨﺎﻓﺔ أن ﯾ ﺪ رﻛﻨ ﻲ “Orang-orang biasanya bertanya kepada Rasulullah perihal kebaikan, tapi saya bertanya kepadanya perihal keburukan karena takut hal itu menim pa diriku.” Di samping itu pengetahuan tentang Firaq ini menjadi kebutuhan kita untuk mem beri hujjah kepada orang-orang yang m ungkin m emiliki sikap sikap yang juz’i dan menyimpang dari Islam . AL- KHAW ARI J ( اﻟ ﺨﻮا رج ) Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk m enyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerim a tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikom andoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin (37H/ 657). Jadi, nam a khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka m enam akan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga m ereka dem i keridhaan Allah, sesuai dengan firm an Allah QS. Al-Baqarah (2):207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada m ereka, sepertiH a r u r i a h, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, danMu h a k k i m a h, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalim at “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah). Secara historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertam a m uncul dalam I slarn sebagaim ana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al Fatawa, إﺑ ﻦ ﺗ ﯿ ﻤﯿ ﺔ : أ ول ﺑﺪﻋﺔ ﻇﮭﻮرا ﻓﻲ ا ﻹﺳﻼم ﺑﺪﻋﺔ اﻟ ﺨﻮا رج “Bid’ah yang pertam a m uncul dalam I slam adalah bid’ah Khawarij.” Kem udian hadits hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah hadits hadits yang berkaitan dengan Khawarij scdang yang berkaitan dcngan Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini m enu TAUHID DAN ILMU KALAM TAUHID & ILMU KALAM Pengertian Tauhid adalah Ilmu yang menerangkan dan membahas keesaan Allah SWT didalam zat-Nya, sifat-sifatnya, dan perbuatannya Tujuan mempelajari ilmu tauhid adalah untuk mengenal Allah SWT dan sifat-sifatnya. Tauhid dibagi 6 yaitu : 1. Tauhid Rububiyah : Mempercayai sepenuh hati bahwa yang menciptakan dunia dan isinya hanya Allah SWT. 2. Tauhid Sifat : Mempercayai sepenuh hati bahwa Allah SWT mempunyai sifat-sifat ketuhanan yang khusus. 3. Tauhid Huluwiyah : Yang berhak menerima peribadatan makhluk dan yang harus disembah hanyalah Allah SWT. 4. Tauhid Itiqadi : Mempercayai sepenuh hati bahwa tiada tuhan selain Allah SWT. 5. Tauhid Qouli ( Perkataan ). 6. Tauhid Amali ( Perbuatan ). KHAWARIJ 1. Pengertian Khawarij berasal dan kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama ini diberikan kepada orang yang keluar dari barisan Ali sebagai¬mana disebutkan di atas, namun ada pendapat yang mengatakan bahwa nama itu diberikan atas dasar surat An-Niasa ayat 100: Artinya: "...Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, sesungguhnya telah tetap pahalanya di siai Allah..." Ayat ini menegaskan bahwa orang yang meninggalkan rumahnya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Orang-orang Khawrij menganggap dirinya melakukan hal tersebut sehingga dinama¬kan Khawarij. Kaum Khawarij kadang-kadang menyebut dirinya Syurah yang berarti "golongan yang mengorbankan dirinya untuk Allah Nama lain bagi Khawarij adalah Haruriyah. Iatilah ini mereka gunakan untuk menamakan diri mereka, berasal ,dari kata harura nama suatu tempat dekat Kufah. Di tempat ini mereka 2. Sebab Timbulnya Golongan Khawarih Calon terkuat untuk menggantikan Usman adalah Ali bin Abi Thalib. Pada tangal 24 Juni 656 M secara resmi Ali diangkat sebagai khalifah, di masjid madinah. Namun, pengangkatannya tidak diaetujui oleh banyak pihak. Ia juga dipersalahkan karena tidak segera menyelesaikan kasus pembunuhan Usman bin Affan. Akibatnya, situasi dan kondiai politik dalam negeri menjadi tidak menentu dan keresahan terjadi dimana-mana. Tantangan berat pertama yang dihadapi Ali bin abi Thalib dating dari dua sahabat yaitu Thalhah dan Zubair yang didukung oleh Aiayah, iateri Nabi Muhammad SAW. Ketika tokoh ini menuntut Ali agar segera mencari dan mengadili pembunuh Usman. Namun, karena situasi dan kondiai politik tidak memung¬kinkan bagi Ali, ia tidak dapat memenuhi tuntutan itu dengan segera. Perseliaihan ini mencapai puncaknya dengan terjadinya perang, yang dikenal dengan nama perang Jamal (unta), karena Aiayah ketika itu menunggang unta. Perang ini dimenangkan Ali. Zubair dan Thalhah mati terbunuh, sedangkan Aisyah dikembalikan ke Mekkah, tempat ia bermukim Tantangan berat kedua datang dari Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Damaskus (Syria) yang tidak mengakui Ali sebagai khalifah dan menuntut bela atas kematian Usman. Tantangan dari berbagai pihak ini makin menyulitkan pemerintahan Ali, sebab masing-masing penantang mempunyai pendukung yang bayak dan kuat. Untuk mencari ketenangan dalam menjalankan pemerintah¬an, Ali bin Abi Thalib memindahkan pusat pemerintahannya dari Madinah ke Kufah. Ia juga memecat sejumlah gubernur yang dulu diangkat Usman bin Affan, termasuk Muawiyah bin Abi Sufyan. Pemecatan ini dilakukannya antara lain karena ia menilai bahwa, terjadinya keresahan di zaman Usman sehingga Usman terbunuh karena pengangkatan dan sikap para gubemur ini. Tindakan ini makin membuat keluarga Usman tidak senang dengan Ali, terutama Muawiyah bin Abi Sufyan. la tidak meneri¬ma pemberhentian atas dirinya dan menyusun kekuatan untuk menentang dan menyingkirkan Ali bin Abi Thalib. Pertentangan antara Ali dan Muawiyah terns berlanjut dan berkembang sehingga menjadi pertentangan antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah dengan pendukung mereka masing-masing. Puncak dari pertentangan itu terjadi dengan pecahnya perang Shiffm, perang antara pasukan Ali dan Muawiyah. Dengan kepandaian Amr bin al-Ash, pendukung Muawiyah, perang yang hampir dimenangkan pasukan Ali tersebut diakhiri dengan tahkim, (arbitrase). Sebagian tentara Ali tidak menerima tahkirn itu. Mereka berpendapat, orang yang man berdamai pada saat pertempuran berlangsung adalah orang yang raga akan kebe¬naran perang itu, padahal hukum Allah jelas bahwa pemberontak (orang yang melawan khalifah) harus diperangi. Golongan ini, yang semula mendukung Ali, menjadi berbalik membenci dan memusuhi Ali. Mereka ini kemudian diberi nama Khawarij yang berarti "kaum yang keluar dan memisahkan diri dari Ali". 3. Dosa Kecil dan Dosa Besar Menurut Golongan Khawarij Kaum khwaris memfatwakan bahwa semua dosa adalah besar, tidak ada yang bernama dosa kecil dan mereka juga mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan dosa besar seperti zina, membunuh adalah kafir dan karena itu dianggap telah keluar dari agama islam. Faham ini ditantang oleh Ahlusunnah wal Jama’ah, karena dalam qur’an dikatakan bahwa ada dosa besar dan ada dosa kecil yang terdapat pada Surah An-Nisa : 31 Yang artinya : “Jika kamu jauhi larangan-larangan yang besar, kami ampuni saja “sai-yiaat”-mu (dosa-dosa kecil)” (An-Nisa : 31) 4. Tokoh-tokoh Khawarij Di antara tokoh-tokoh Khawarij yang terpenting adalah: 1. Abdullah bin Wahab al-Rasyidi, 2. Urwah bin Hudair 3. Mustarid bin Sa'ad http://dinulislami.blogspot.com/2009/08/tauhid-ilmu-kalam.html o Info CPNS o Pasca IAIN Sunan Ampel o Pesantren Virtual Sejarah Pemikiran Khawarij: Transformasi Politik Menuju Ideologi October 7th, 2010 by cafesantri No Comments Makalah ini akan menfokuskan pembahasan pada aliran Khawarij, yang tercatat dalam sejarah memiliki pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem. Pertanyaan yang ingin penulis teliti jawabannya adalah latar belakang apa yang menyebabkan Khawarij tidak saja mempunyai pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem tapi juga berperilaku keras bahkan cenderung kejam. Mereka, kata Abu Zahra, suka menyabung nyawa dalam bahaya meskipun tidak ada pendorong untuk berbuat itu. Ironisnya mereka sangat kejam dan sama sekali tidak toleran dengan perbedaan pendapat sesama Muslim, tapi sangat toleran dengan Ahlul Kitab. Tapi sebelum menganalisis masalah di atas penulis akan deskripsikan terlebih dahulu asal usul dan perkembangan Khawarij, dengan tekanan pada asal usul, untuk dapat melihat secara jelas bagaimana persoalan politk diberi legitimasi teologi di samping alasan teknis terbatasnya halaman untuk berbicara panjang lebar tentang perkembangan Khawarij masa-masa selanjutnya. Sedangkan mengenai doktrin pemikiran politik dan teologi Khawarij itu sendiri tidak penulis bicarakan secara khusus, tetapi hanya beberapa doktrin diungkapkan dalam perjalanan bahasan kesejarahan tentang perkembangan pemikiran itu sendiri. Sikap itu diambil karena makalah ini memakai pendekatan historis, bukan doktriner. Kata kunci: doktrin, teologi, pemikiran Islam, khawarij this working paper will concentrate discussion in sect of khawarij, wich recorded in history wich has policies opinions and extreme theology. The question that will be answered is what causes khawarij not even has policies opinions and extreme wich theology but also berperila hard even inclined cruel. they? ash word zahra? like to fight cocks soul in danger although there is no organizer to make that. ironically they are very cruel and bot at all tolerant with moslem fellow different idea? but very tolerant with ahlul book. ? but before analyze problem above author description beforehand genesis and development khawarij? with pressure in genesis? to can see clearly how problem politk given theology legitimization beside technical reason the limited yard to speaks detailed about development khawarij times furthermore. while hit policies thinking doctrine and theology khawarij itself not author talks peculiarly? but only several doctrines is unfolded on the way criticism kesejarahan about itself thinking development. that attitude is taken because this working paper wears to approach historic? not doktriner. ? This working paper will focus the discussion in sect of Khawarij, which is recorded in history wich has the political view and exstreem theology. Question which wish the accurate writer of its answer is what any background causing Khawarij not only has the extreme political view and theology but also hard behaviour even tend to cruel. They, Dusty word [of] Zahra, like to risk life in danger though [there] no impeller to do that. Ironically they very cruel and lenient [is] not at all with the different idea of Moslem humanity, but very lenient by Ahlul [is] Buku. But before analysing problem [of] above writer of deskripsikan beforehand genesis and growth Khawarij, with the pressure [of] [at] genesis, to be able to see clearly how problem politk given [by] the legitimasi theology beside technical reason the limited page;yard to converse elaborate about growth Khawarij [of] a period of/to hereinafter. While hitting political idea doctrine and theology of Khawarij of writer itself [do] not discuss peculiarly, but only some doctrine laid open on the way history discussion [of] about growth of itself idea. That attitude [is] taken [by] because this handing out hence historical approach, non doktriner. Pendahuluan Kematian khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan secara tragis melalui tangan para perusuh tahun 35 H telah menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa yang mengguncang tubuh umat Islam. Salah satu di antaranya adalah perang Shiffien, 2 tahun setelah ‘Ali ibn Abi Thalib dibai’at jadi khalifah menggantikan ‘Utsman. Perang besar antara kubu ‘Ali dengan kubu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan itu, tidak hanya mengoyak umat Islam menjadi dua kubu besar secara politis, tetapi juga melahirkan dua aliran pemikiran yang secara ekstrem selalu bertentangan yaitu Al-Khawarij dan Syi’ah. Misalnya Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah ‘Ali setelah peristiwa, sementara Syi’ah belakangan mengkultuskan ‘Ali demikian rupa sehingga seolah-olah ‘Ali adalah manusia tanpa cacat. Sekalipun semula kedua aliran tersebut bersifat politik tapi kemudian untuk mendukung pandangan dan pendirian politik masing-masing, mereka memasuki kawasan pemikiran agama (baca: teologi) Makalah ini tidak akan membahas kedua aliran ekstrem tersebut, tapi menfokuskan pembahasan pada aliran Khawarij, yang tercatat dalam sejarah memiliki pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem. Pertanyaan yang ingin penulis teliti jawabannya adalah latar belakang apa yang menyebabkan Khawarij tidak saja mempunyai pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem tapi juga berperilaku keras bahkan cenderung kejam. Mereka, kata Abu Zahra, suka menyabung nyawa dalam bahaya meskipun tidak ada pendorong untuk berbuat itu. Ironisnya mereka sangat kejam dan sama sekali tidak toleran dengan perbedaan pendapat sesama Muslim, tapi sangat toleran dengan Ahlul Kitab. Tapi sebelum menganalisis masalah di atas penulis akan deskripsikan terlebih dahulu asal usul dan perkembangan Khawarij, dengan tekanan pada asal usul, untuk dapat melihat secara jelas bagaimana persoalan politk diberi legitimasi teologi di samping alasan teknis terbatasnya halaman untuk berbicara panjang lebar tentang perkembangan Khawarij masa-masa selanjutnya. Sedangkan mengenai doktrin pemikiran politik dan teologi Khawarij itu sendiri tidak penulis bicarakan secara khusus, tetapi hanya beberapa doktrin diungkapkan dalam perjalanan bahasan kesejarahan tentang perkembangan pemikiran itu sendiri. Sikap itu diambil karena makalah ini memakai pendekatan historis, bukan doktriner. Asal-Usul dan Perkembangan Khawarij Pada tahun 37 H Mu’awiyah, Gubernur Syria memberontak terhadap Amir al-Mu’minin ‘Ali ibn Abi Thalib. Pemberontakan itu meletus karena dalam suasana berkabung dan emosi yang meletup-letup karena pembunuhan ‘Utsman, ‘Ali mengeluarkan keputusan yang tidak strategis sebagai seorang kepala negara, yaitu pemecatan Mu’awiyah dari jabatan Gubernur Syria. Dengan pemecatan itu Mu’awiyah punya dua alasan untuk melawan ‘Ali. Tidak jelas mana yang lebih dominan, apakah karena ingin menuntut balas atas kematian ‘Ustman atau ingin mempertahankan jabatannya sebagai Gubernur. Sebelum peperangan meletus, ‘Ali sudah mengirim Jarir ibn Abdillah al-Bajuli untuk berunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan tidak berhasil mencegah peperangan karena tuntutan Mu’awiyah yang terlalu berat untuk dipenuhi oleh ‘Ali. Mu’awiyah menuntut dua hal: (1) ekstradisi dan penghukuman terhadap para pelaku pembunuhan Amir al Mu’minin ‘Utsman ibn ‘Afan; dan (2) pengunduran diri ‘Ali dari jabatan Imam (khalifah) dan dibentuk sebuah Syura untuk memilih khalifah baru. Berbeda dengan Mu’awiyah yang secara pribadi punya alasan untuk menuntut balas atas kematian ‘Utsman, penduduk Syria yang mendukungnya memerangi ‘Ali tidaklah dapat dikatakan juga punya motivasi yang sama. Kalau memang mereka siap mati membela darah ‘Utsman, hal itu tentu telah mereka lakukan sejak awal-awal begitu ‘Utsman dibunuh. Tetapi setelah ‘Ali mencapai kemenangan dalam perang Jamal, penduduk Syria melibatkan diri dalam menentang ‘Ali karena mereka menghawatirkan campur tangan ‘Ali dalam urusan dalam negeri mereka sediri di Syria. Demi untuk melemahkan kedudukan ‘Ali penduduk Syria menjadikan pembelaan terhadap ‘Utsman sebagai lambang perjuangan menentang ‘Ali. Sekali lagi sebelum peperangan benar-benar meletus ‘Ali mengirim kembali juru runding yang terdiri dari Syabats ibn ‘Aibi al-Yarbu’i at-Tamimi, ‘Ali ibn Hatim at-Tha’i, Yazid ibn Qais al-Arhabi, dan Ziyad ibn Khasafah at-Taimi at-Tamimi, untuk merunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan inipun juga berakhir dengan kegagalan. Makalah ini tidak akan menguraikan tentang perang Shiffien secara rinci, yang penting diungkap di sini dalam kaitannya dengan kelahiran aliran Khawarij adalah ide ‘Amru ibn ‘Ash dari pihak Mu’awiyah untuk memecah belah pasukan ‘Ali dengan mengangkat lembaran mushhaf Al-Qur’an dengan ujung tombak sebagai isyarat mohon perdamaian dengan bertahkim kepada Kitab Suci Al-Qur’an. Tiga Sejarawan Muslim besar, At-Thabari, Ibnu al-Atsir dan Ibnu Katsir menyebutkan peristiwa itu dalam kitab mereka masing-masing. Menurut ‘Amru, tawaran bertahkim kepada Al-Qur’an itu akan diterima oleh sebagian pengikut ‘Ali dan akan ditolak oleh yang lain. Dengan demikian mereka pecah. Jika sekiranya mereka sepakat toh juga tidak ada ruginya bagi Mu’awiyah karena paling kurang sampai waktu tertentu peperangan dapat berhenti. Benar saja, segera saja sebagian pengikut ‘Ali menyerukan untuk menerima tawaran Mu’awiyah. ‘Ali sendiri menolaknya, karena menurut dia itu hanyalah bagian dari taktik perang Mu’awiyah. ‘Ali megatakan; “’Ibâdallah, teruslah berada dalam kebenaran dan keyakinan kalian. Teruslah memerangi musuh, karena Mu’awiyah, ‘Amru, Ibn Abi Mu’ith, Habib, Ibn Abi Sarah dan Dhahhak bukanlah Asshâb ad-dîn dan bukan pula Ashhâb Al-Qur’an. Saya lebih mengenal mereka dibandingkan kalian. Saya telah bergaul dengan mereka sejak kecil sampai dewasa, mereka adalah anak-anak dan laki-laki dewasa yang jelek. Mereka minta bertahkim kapada kitab Allah, pada hal, demi Allah, mereka mengangkat mushhaf itu hanyalah untuk tipu muslihat belaka.” Mendengar seruan ‘Ali mereka menjawab: “Mereka mengajak kita kembali kepada Kitabullah, kenapa kita tidak menerimanya?” ‘Ali kembali menjawab: “Saya memerangi mereka supaya mereka tunduk kepada hukum kitab Allah; karena mereka telah menentang perintah Allah dan melupakan janji mereka dengan Allah, serta mengabaikan kitab suci itu.” Kemudian Mis’ar ibn Fadki at-Tamimi, Zaid ibn Hushain ath-Thai dan beberapa tokoh lain dari kelompok Al-Qura’– salah satu unsur koalisi pasukan ‘Ali–mendesak, bahkan mengancam akan memperlakukan ‘Ali seperti apa yang telah mereka lakukan terhadap ‘Utsman. Setelah ‘Ali terpaksa mengikuti kehendak mereka, Al-Asy’asts ibn Qais menawarkan diri untuk menemui Mu’awiyah dan menanyakan apa yang diinginkannya dengan mengangkat mushhaf seperti itu. ‘Ali menyetujuinya. Mu’awiyah mengatakan: “Mari kita kembali kepada apa yang diperintahkan Allah di dalam Al-Qur’an. Kalian utuslah seseorang yang kalian sukai dan kami pun akan mengutus seseorang yang kami sukai. Biarkan mereka berdua berunding berdasarkan Kitabullah, kemudian kita ikuti apa yang mereka sepakati”. Dengan segera usulan Mu’awiyah itu disetujui sepenuhnya oleh pasukannya sendiri dan mereka sepakat mengutus ‘Amru ibn ‘Ash sebagai juru runding. Sementara dari pihak ‘Ali sekali lagi kelompok yang tadi memaksa ‘Ali menerima perundingan memaksakan kehendak mereka kepada ‘Ali. Mereka menunjuk Abu Musa al-Ays’ari, sementara ‘Ali menginginkan ‘Abdullah ibn ‘Abbas atau Malik al-Asytar. Sekali lagi ‘Ali terpaksa mengalah kepada keinginan mereka. Abu Musa adalah tokoh yang sudah terlibat dalam fase-fase pertama penaklukkan Iraq baik sebagai jenderal pasukan maupun gubernur Kufah dan Bashrah. Dia juga pernah menentang kebijakan ’Utsman dan dipilih oleh kelompok sebagai gubernur Kufah ketika mengusir gubernur tunjukan ‘Utsman, Sa’id ibn ‘Ash. Menurut Shaban, Abu Musa punya hubungan politik yang lama tidak tergoyahkan dengan kelompok. Sebaliknya ‘Ali meragukan loyalitas Abu Musa karena ‘Ali pernah memecat Abu Musa dari jabatannya karena kurang aktf dan loyal kepadanya. Perlu dicatat bahwa pada waktu itu Abu Musa tidak ada dalam pasukan, karena dia memencilkan diri ke tanah Hijaz. Waktu utusan memberi tahu bahwa dia telah dipilih sepakai Hakam, Abu Musa berkomentar: Innâ lillahi wa innâ illaihi râji’un. Tidak jelas bagaimana menafsirkan komentar Abu Musa seperti itu. Yang jelas baik Abu Musa maupun ‘Amru adalah dua tokoh yang sangat mengenal daerah masing-masing. Abu Musa sangat kenal daerah Iraq dan ‘Amru sangat kenal dengan Syiria. Perundingan di Daumah al-Jandal, Azruh itu berjalan cukup lama, sekitar enam bulan, mulai Shafar sampai Ramadhan tahun 37 H. tidak banyak yang dapat diketahui tentang apa saja yang dibicarakan dalam perundingan sehingga memerlukan waktu yang lama. Kalaupun ada masalah yang alot dibicarakan juga tidak jelas masalah apa itu. Di antara yang terungkap adalah keberhasilan ‘Amru meyakinkan Abu Musa bahwa Mu’awiyah sebagai wali ‘Utsman paling berhak dibanding siapapun untuk menuntut balas atas kematian ‘Utsman. Waktu ‘Amru membicarakan keterlibatan ‘Ali dalam pembunuhan ‘Utsman, Abu Musa tidak mau melayani. Dia mengajak ‘Amru membicarakan hal yang bisa menyatukan umat Muhammad. Kata Abu Musa : “Anda tahu, penduduk Iraq sama sekali tidak menyukai Mu’awiyah, dan penduduk Syiria tidak menyukai ‘Ali. Bukankah lebih baik kita copot keduanya dan kita angkat Abdullah ibn ‘Umar?”. ‘Amru segera menyetujui pendapat Abu Musa dan mengusulkan beberapa nama, tapi Abu Musa hanya menyetujui Ibnu ‘Umar. Karena tidak tercapai kesepakatan siapa yang akan diangkat menjadi Khaifah, akhirnya disepakati menyerahkannya kepada permusyawaratan kaum Muslim. Beberapa sumber kemudian menyebutkan kedua juru runding itu mengumumkan hasil kesepakatan mereka. Yang duluan bicara adalah Abu Musa, baru kemudian ‘Amru. Tapi kemudian ’Amru menghianati Abu Musa dengan secara sepihak mengukuhkan Mu’awiyah menjadi Khalifah tanpa menurunkannya terlebih dahulu seperti yang disepakati. Harun Nasution yang terkenal berpikiri kritis juga meyakini kelicikan bahkan kecurangan ‘Amru tersebut. Tulisnya : “…Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy’ari, sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, ‘Amru ibn ‘Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan ‘Ali yang telah diumumkan al-Asy’ari, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah”. Dalam hal ini penulis sepakat dengan Hasan Ibrahim Hasan yang meragukan kebenaran kisah tersebut. Menurut dia, mengutip Al-Mas’udi, kedua juru runding tersebut tidak pernah berpidato menyampaikan hasil perundingan mereka. Mereka memang sepakat mencopot ‘Ali dan Mu’awiyah dan menyerahkan kepada permusyawaratan kaum Muslimin untuk memilih Khalifah baru. Bahkan Hasan menyetakan para sejarawan telah menzalimi Abu Musa dengan menuduh kalah cerdik dari ‘Amru. Kemungkinan besar pelecehan terhadap kemampuan diplomasi Abu Musa itu, menurut Hasan, karena pendapat Abu Musa dalam perundingan itu tidak sejalan dengan pendapat ‘Ali dan Bani Hasyim walaupun sejalan dengan pendapat sebagian besar kaum Muslimin waktu itu. Kenapa kemudian kedudukan Mu’awiyah semakin kokoh di Syiria, bukan karena ‘Amru telah membai’ahnya, tapi karena memang’Ali tidak lagi punya kekuatan yang cukup untuk menggempur Mu’awiyah karena kemudian pasukan koalisinya menjadi lemah sesudah perang Shiffien, apalagi nanti setelah kelompok besar memisahkan diri yang kemudian dikenal dangan kelompok Khawarij. Sementara pendukung Mu’awiyah semakin solid, apalagi Mu’awiyah sudah mejadi Gubernur Syria semenjak zaman ‘Umar. Sekarang kita kembali pada kelompok Qurrâ’. Setelah perundingan selesai mereka berbalik menentang Tahkîm, padahal tadinya mereka juga mendesak ‘Ali menerima Tahkîm. Sekarang mereka kemukakan alasan-alasan yang bersifat teologis, untuk mendukung pandangan dan sikap polotik mereka. Menurut mereka, Tahkîm salah karena hukum Allah tentang pertikaian mereka sudah jelas. Mereka yakin kubu ‘Ali lah (dalam konflik dengan kubu Mu’awiyah) yang berada di pihak yang benar. Kubu ‘Ali yang beriman. Tahkîm berarti meragukan kebenaran masing-masing pihak. Hal itu bertentangan dengan Al-Qur’an. Mereka teriakkan Lâ hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Mereka meminta ‘Ali mengaku salah, bahkan megakui bahwa dia telah kafir kerena menerima Tahkîm. Mereka desak ‘Ali supaya membatalkan hasil kesepakatan Tahkîm. Kalau tuntutan mereka dipenuhi mereka akan kembali berperang di pihak ‘Ali. Tentu saja ‘Ali menolak. Kesepakatan tidak boleh dilanggar. Agama memerintahkan kita untuk menepati janji. Kalau ‘Ali mungkir janji koalisinya akan semakin pecah. Lagipula bagaimana mungkin dia mau mengakui dirinya telah kafir, padahal dia tidak pernah berbuat musyrik semenjak beriman. Karena tuntutan mereka tidak dipenuhi ‘Ali, akhirnya mereka meninggalkan kamp ‘Ali di Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura yang tidak seberapa jauh dari Kufah. Dari nama desa Harura inilah, maka untuk pertama kali mereka itu dikenal dengan nama golongan Al-Harûriyah. Di Harura inilah mereka membentuk organisasi sediri dan memilih Abdullah ibn Wahab ar-Rasibi dari Banu ‘Azd sebagai pemimpin mereka. Karena mereka keluar dari kubu ‘Ali itulah kemudian mereka dikenal dengan al-Khawârij, bentuk jama’ dari Khâriji (yang keluar). Menurut Syahrastani, yang disebut Khârij, adalah siapa saja yang keluar dari (barisan) imam yang hak yang telah disepakati oleh jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat di bawah pimpinan al-Aimmah ar-Râsyiddîn atau pada masa tabi’in atau pada masa imam mana pun di setiap masa. Secara etimologis Syahrastani benar, tapi secara terminologi apalagi secara historis nama Khawarij hanya diberikan kepada kelompok yang keluar dari kubu ‘Ali seperti yang disebut di atas, dan disebut juga al-Harûriyah karena mereka pergi memisahkan diri ke Harura. Tapi dibanding dengan nama-nama lain yang dipanggilkan kepada mereka maka nama Khawarij lah yang paling umum bisa dipakaikan untuk semua kelompok pecahan Khawarij, sebab dalam perkembangan sekanjutnya kita akan lihat kelompok ini paling mudah memisahkan diri dari kelompok awalnya karena perbedaan pendapat yang kadang-kadang tidak prinsip. Khurûj sudah merupakan dustûr mereka. Dalam bahasa Inggris Khawarij ditulis Kharijites dan dialihbahasakan menjadi Seceders, Rebels. Semakin lama kelompok yang meisahkan diri ke Harura semakin membesar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang. Dan kamp mereka kemudian pindah ke Jukha, sebuah desa yang terletak di tepi barat sungai Tigris. ‘Ali berusaha berunding dengan mereka tapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam sebagian mereka pergi meninggalkan Jukha, berencana pindah ke-Al-Madain tapi ditolak oleh Gubernur setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan. Jumlah mereka berkumpul di Nahrawan mencapai 4000 orang di bawah pimpinan ‘Abbdullah ibn Wahab ar-Rasibi. Semula ‘Ali tidak menanggapi secara serius gerakan-gerakan orang Khawarij ini, sampai dia mendengar berita tentang kekejaman mereka terhadap orang-orang Islam yang tidak mendukung pendapat mereka. Di antara yang menjadi korban adalah ‘Abdullah ibn Khabbab, salah seorang putera sahabat Nabi. Abu Zahra mengutip kisah kematian putera Khabbab dari buku Al-Kâmil karya Al-Mubarrad sebagai berikut : “Sekelompok Khawarij berjumpa pada suatu saat dengan seorang Muslim dan seorang Nasrani. Mereka membunuh si Muslim tetapi berpesan kepada si Nasrani agar melakukan kebaikan sambil berseru: “Jagalah janji Nabi kalian!” Kemudian ketika itu ‘Abdullah ibn Khabab sedang membawa mushaf di pundaknya bersama isterinya yang sdang hamil, berjalan menjumpai mereka. Lentas mereka menegur ‘Adullah, dengan mengatakan, “Sesungguhnya apa yang kamu bawa di pundakmu itu menyuruh kami untuk membunuhmu… Bagaimana menurut pendapatmu mengenai Abu Bakar dan ‘Umar?” tanya mereka. ‘Abdullah menjawab, “Aku memuji kedua beliau itu.” Mereka bertanya pula, “Bagaimana pendapatmu mengenai ‘Ali sebelum Tahkîm dan mengenai ‘Utsman dalam kekhalifahannya selama enam tahun?” ‘Abdullah menjawab, “Aku juga memuji kedua beliau itu” Lalu mereka masih bertanya, “Bagaimana pendapatmu mengenai Tahkîm?” Abdullah menjawab, “Sesungguhnya ‘Ali itu lebih tahu tentang Kitab Allah dari pada kalian semua, lebih taqwa dari kalian dalam beragama, dan beliau lebih mengena pandangannya daripada kalian semua.” Maka mereka mengatakan, “Kamu ini tidak mengikuti hidayah, tapi kamu hanya mengikuti mereka atas nama mereka.” Akhirnya mereka menyeret Abdullah ketepi sungai dan menyembelihnya di sana. Setelah itu mereka tawar menawar dengan orang laki-laki Nasrani tentangn pohon kurma. Orang Nasrani itu megatakan, “Ambil saja, pohon kurma itu milik kalian!” Mereka menjawab, “Demi Tuhan, kami tidak mau membawa kurma ini kecuali dengan harga.” Orang Nasrani itu lalu berkata dengan keheranan, “Ini benar-benar aneh, kalian berani membunuh orang seperti ‘Abdullah ibn Khabab, tetapi kalian tidak mau menerima kurma kami ini kecuali dengan harga”. ‘Ali kemudian mengirim utusan membujuk dan menyadarkan mereka. ‘Ali menawarkan kepada mereka untuk kembali bergabung dengannya bersama-sama menuju Syria, atau pulang ke kampung masig-masing. Sebagian memenuhi anjuran ‘Ali; ada yang bergabung kembali dan ada yang pulang kampung serta ada yang menyingkir ke daerah lain. Namun ada sekitar 1800 orang yang tetap membangkang. Mereka menyerang pasukan ‘Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan pertempuran Nahrawan yang mengenaskan itu. Hampir semua mereka mati terbunuh. Hanya delapan orang saja yang selamat. Sejak peristiwa Nahrawan itu lah kelompok Khawarij yang terpencar di beberapa daerah semakin radikal dan kejam. ‘Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh ‘Abdurrahman ibn Muljam Al-Murdi, yang anggota keluarganya terbunuh di Nahrawan. Memang karena peristiwa Nahrawan ini, walaupun dari segi fisik ‘Ali dapat menumpas habis semua Khawarij yang berada di situ, telah mengakibatkan ‘Ali tidak pernah bisa berangkat ke Syria. Antara tahun 39 dan 40 H berulangkali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang menguras ‘Ali untuk menghadapinya. Mu’awiyah pun, yang setelah ‘Ali wafat menjabat kedudukan Amirul Mu’minin dan terkenal hilm (lemah lembut dan ‘arif), selama pemerintahannya yang 20 tahun itu tidak mampu membujuk apalagi menumpas habis Khawarij. Karena keterbatasan halaman makalah ini tidak akan medeskripsikan lebih jauh perkembangan Khawarij sampai masa-masa selanjutnya. Cuma yang perlu dicatat adalah bahwa dalam perkembangan selanjutnya Khawarij terpecah menjadi beberapa kelompok, karena, seperti sudah diungkap di atas, sudah menjadi dustûr mereka kalau berbeda pendapat segera memisahkan diri membentuk kelompok sendiri. Para sejarawan berbeda pendapat tentang jumlah kelompok-kelompok pecahan Khawarij, tapi mereka sepakat jumlahnya tidak kurang dari dua puluh kelompok, sebagian ushûl dan yang lain furû’. Yang termasuk ushûl menurut Abu Hasan Al-Asy’ary adalah : Al-Azariqah, al-Ibadiyah, an-Najdiyah dan ash-Shufriyah. Sementara menurut Syahrastani yang masuk ushûl adalah al-Muhakkimah al-Ula, al-Azariqah, an-Najdat, al-Baihasiyah, al-‘Ajaridah, ats-Tsa’Alibah, al-Ibadhiyah dan ash-Shufriyah. Yang termasuk furû’ banyak sekali, tidak relevan kita sebutkan semuanya dalam makalah ini, di antaranya adalah al-‘Athawiyah, al-Fadikiyah dan al-‘Ajaridah. Latar Belakang Ekstremitas Khawarij Seperti yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran dan sikap yag ekstrem, keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka menilai ‘Ali ibn Abi Thalib salah karena menyetujui dan kesalahan itu membuat ‘Ali menjadi kafir. Mereka memaksa ‘Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat. Begitu ‘Ali menolak pandangan mereka walaupun dengan mengemukakan argumentasi, mereka menyatakkan keluar dari pasukan ‘Ali dan kemudian melakukan pemberontakan dan kekejaman-kekejaman. Yang menjadi sasaran pengkafiran tidak hanya ‘Ali bi Abi Thalib sendiri, tapi juga Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, ‘Amru ibn ‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang mendukung mereka. Dalam perkembangan selanjutnya mereka perdebatkan apakah ‘Ali hanya kafir atau musyrik. Untuk mendukung pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun teologi, mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya ; kelompok al-Azariqah, tidak hanya menyatakan ‘Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa min an-nâsi man yu’jibuka qauluhu fi al-hayâh ad-dunya wa yusyhidullah ‘ala mâ fi qalbihi wa huwa aladdu al-khshâm) diturunkan Allah mengenai ‘Ali sedangkan tentang ‘Abdurrahman ibn Muljam yang membunuh ‘Ali Allah menurunkan ayat (wa minannâsi man yasyri nafsahu ibtighâa mardhâtillah). Mereka gampang sekali menggunakan ayat-ayat Al Qur’an untuk menguatkan pendapat-pendapat mereka. Yang menarik kita teliti adalah, latar belakang apa yang menyebabkan mereka memiliki pandangan seperti itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu melakukan analisis terhadap pengertian istilah Qurrâ’ atau Ahl al– Qurrâ’, sebutan mereka sebelum menjadi Khawarij. Apakakah istilah itu berarti para penghafal Al-Qur’an atau orang orang kampung. Kalau sekiranya yang benar adalah yang pertama maka persoalannya adalah persoalan teologis murni (persoalan intepretasi yang sempit dan picik), tapi kalau yang benar adalah yang kedua persoalannya adalah persoalan sosial politik. Penulis kira inilah kata kunci yang dapat membantu kita memahami latar belakang ekstremitas Khawarij. Melihat pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka jadikan dalil membenarkan pandangan dan sikap politik mereka, maka penulis lebih cenderung mengartikan istilah Qurrâ’ bukan sebagai para penghafal Al-Qur’an, tetapi orang-orang desa. Nourouzzaman Shiddiqi, sejarawan Muslim dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah menulis paper tenang Khawarij waktu studi di McGill University, Canada menyatakan bahwa Ahlu al-Qurrâ’ lebih tepat diartikan sebagai ‘para penetap’ walaupun Ahl al-Qurrâ’ bisa juga berarti para penghafal Al-Qur’an. Uraian yang panjang lebar dan agak memuaskan tentang pengertian istilah al-Qurrâ’ ditulis oleh Mahayadin Haji Yahaya dalam bukunya Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11-78 H/632-698 M) yang berasal dari disertasi doktor yang bersangkutan di Exterter University, England dengan judul bahasa Inggris The Origins of The Khawarij. Menurut Yahaya para sejarawan seperti Sayf, at-Thabary dan Ibn ‘Atsam cenderung menafsirkan al-Qurrâ’ sebagai para penghafal Al-Qur’an. Kekeliruan itu mungkin muncul terpegaruh dengan ucapan Sa’idi ibn ’Ash dalam sebuah khutbah di Masjid besar di Kufah yang megatakan; “Ahabbukum ilayya akramukum li kitâbillah. Istilah-istilah lain yang dipakai oleh para sejarawan menunjukkan kelompok yang sama yang melakukan pemberontakan di Kufah waktu itu adalah asyrâf, wujûh, sufahâ, rijâl min qurâ’ ahli al-kufah, khyar ahli al-kufah, jama’ah ahli al kufah dan lain-lain yang tidak satu pun yang menunjukkan makna penghafal-penghafal Al-Qur’an. Tetapi yang jelas ialah bahwa al-Qurra’ itu ialah golongan manusia di Kufah, atau sebagian dari golongan asyrâf, orang-orang kenamaan dan pemimpin-pemimpin Kufah yang tinggal atau menguasai kampung-kampung di Irak dan disifatkan sebagai orang-orang yang bodoh. Sebagian dari mereka ini telah disingkirkan dari jabatan-jabatan penting dalam masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman. Sejalan dengan itu Harun Nasution menulis bahwa kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan haus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolelir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walau pun penyimpangan dalam bentuk kecil. Di sinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka. Khawarij tidak hanya mengkafirkan ‘Ali bn Abi Thalib tapi juga Kalifah ‘Utsman ibn ‘Affan mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran terhadap ‘Utsman (masalah teologis) juga berlatar belakang politik (kepentingan), tepatnya masalah tanah-tanah Sawad yang luas di wilayah Sasaniyah yang ditinggalkan oleh para pemiliknya. Di sekitar tanah yang ditinggalkannya itu, tulis Shaban, konflik itu terpusatkan. Tanah-tanah itu tidak dibagi-bagi, tetapi dikelola oleh kelompok Qurrâ’, dan penghasilannya dibagi-bagi antara para veteran perang penaklukan terhadap wilayah tersebut. Kelompok Qurrâ’ itu menganggap diri mereka sendiri hampir-hampir seperti pemilik sah atas kekayaan-kekayaan yang sangat besar ini. ‘Utsman tidak berani menentang hak yang dirampas ini secara terbuka, tetapi menggunakan pendekatan secara berangsur-angsur. Antara lain ‘Utsman menyatakan bahwa para veteran yang telah kembali ke Mekah dan Madinah tidak lantas kehilangan hak-hakya atas tanah-tanah Sawad ini. Kelompok Qurrâ’ dalam jawabannya menegaskan bahwa tanpa kehadiran mereka secara berkesinambungan di Iraq kekayaan-kekayaan ini sama sekali tidak akan pernah terkumpulkan, dengan demikian membuktikan bahwa para veteran Kufah tidak memiliki hak lebih besar atas tanah ini. Akibat dari pelaksanaan kebijaksanaan ‘Utsman itu kelompok Qurrâ’ belakangan mengetahui bahwa landasan kekuatan ekonomi mereka sedang dihancurkan karena tanah-tanah mereka dibagi-bagi, tanpa mempertimbangkan hak-hak mereka. Sebagai manifestasi perlawanan mereka pada ‘Utsman kelompok ini menghalang-halangi kedatangan Sa’id ibn ‘Ash- Gubernur yang ditunjuk oleh ‘Utsman–memasuki Kufah. Mereka memilih Abu Musa al-Asy’ary sebagai Gubernur dan memaksa ‘Utsman mengakui tindakan kekerasan ini. Penutup Dari uraian di atas penulis dapat megambil kesimpulan bahwa pemikiran politik dan teologi serta sikap ekstrem Khawarij lahir terutama disebabkan oleh latar belakang sosio-kultural mereka sebagai orang-orang Arab Badawi yang punya watak keras, kasar dan berani sehingga mereka tidak gentar mati walaupun untuk hal-hal yang tidak perlu. Sebutan Qurrâ’ bagi mereka sebelum dikenal dengan nama Khawarij tidaklah menunjukkan arti para penghafal Al-Quran, tapi menunjukkan arti mereka sebagai orang-orang desa. Dari sejarah Khawarij itu kita dapat mengambil pelajaran bahwa persoalan-persoalan sosial politik kalau dibungkus dengan agama bisa mendatangkan bahaya yang lebih besar, apalagi kalau dilakukan oleh orang-orang yang pemahaman dan penguasaannya terhadap ajaran Islam sangat terbatas bahkan sangat sempit. Wawasan yang sangat sempit dan tertutup dapat melahirkan ekstremitas tidak hanya pemikiran tapi juga sikap dan tindakan. Oleh Dr.YUNAHAR ILYAS, Lc., M.Ag. KEPUSTAKAAN Amin, Ahmad, Fajrul Islam, Cairo : Dar al-Kutub, cet. XI, 1975. Al-Asy’ari, Abu Al-Hasan ‘Ali ibn Isma’il, Maqalât al-Islamiyîn wa Ikhtilâfu al-îMushalln, Cairo : Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, cet. II, 1969. Abu Zahrah, M, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, terjemah Shobahussurur, Gontor : PSIA, cet.I, 1991. Ghazaly, ‘Ali Musthafa, Târîkh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasyah ‘Ilmi al-Kalâm ‘Inda al-Muslimîn, Cairo, Maktabah Muhammad ‘Ali Shabij wa Auladih, cet. III. 1958. Grunebaum, G. E. von, Clasical Islam A History 600 A.D.-1258 A.D., Chicago: Aldine Publising Company, cet. I, 1970. Hasan, Ibrahim Hasan, Târîkh al-Isâlm as-Siyâsi wa ad-diny wa ats-Tsaqafi wa al- Ijtimâ’iy, Cairo: Maktababah an-Nahdhah al-Misriyah, cet. IV, tahun 1957. Ibnu Al-Atsir, Al-Kâmil fi at- Târîkh , jilid III, Beirut: Darus Sader, 1965. Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wan Nihâyah, juz VII, Lebanon : Darul Kutub al-‘Ilmiyah. Tt. Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: Jakarta, UI Press, cet.V, 1986. Shaban, M.A., Sejarah Islam (Penafsiran Baru) 600-750, terjemahan Machnun Husein, Jakarta: Rajawali Pers, 1993. Shiddiqi, Nouruzzaman, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah, Yogyakarta, PLP2M, cet, I, 1985. Asy-Syahrastani, Muhammad Abdul Karim, Al-Milal wan-Nihal, Beirut: Darul Fikr, tt. Ath-Thabari, Muhammad ibn Jarir, Târîkh al-Umam wal-Mulk, juz V, Lebanon: Darul Fikr, 1979. Yahya, Mahayudi Haji, Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11- 78 H/632 – 698 M), Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, cet. II, 1986. http://cafesantri.com/artikel/sejarah-pemikiran-khawarij-transformasi-politik-menuju-ideologi/ SEJARAH DAN POKOK AJARAN KHAWARIJ Definisi Ada banyak arti dari kata Khawarij yang dimunculkan, diantaranya : 1. Bentuk jamak dari kharij (orang yang keluar) : Orang-orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib. 2. Nama Khawarij terambil dari al-Quran, 4:100 : ayat itu memberikan pengertian bahwa “keluar dari rumah untuk berjuang di jalan Allah.” Kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang-orang yang keluar dari rumah semata-mata untuk berjuang di jalan Allah swt. 1. Al-Muhakkimah. Nama ini berasal dari semboyan mereka yang terkenal “la hukma illa li Allah” (tiada hukum kecuali hukum Allah) atau “la hakama illa Allah” (tidak ada perbuatan hukum kecuali Allah). Berdasakan alasan inilah mereka menolak keputusan Ali untuk ikut melakukan arbitrasi (tahkim), dan yang baerhak memutuskan adalah Allah. 2. Syurah, yang berasal dari bahasa Arab yasyri (menjual). Penamaan ini didasarkan al-Quran, 2:207 : Golongan ini memang menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang berkorban demi mencapai keridlaan Allah swt. 1. Haruriyah, berasal dari kata Harura, tempat mereka berkumpul setelah meninggalkan barisan Ali. Tempat ini kemudian dijadikan pusat kegiatan mereka. 2. Al-Mariqah, berasal dari kalimat maraqa yang artinya “anak panah keluar dari busurnya.” Nama yang dialamatkan kepada mereka, karena mereka dianggap telah keluar dari agama itu diberikan oleh lawan-lawan mereka. Sejarah Kelompok Khawarij merupakan aliran teologi pertama yang muncul dalam dunia Islam, yakni abad I H/8 M pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib. Kemunculannya dilatabelakangi oleh pertikaian politik antara Ali dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan, yang pada waktu itu maenjabat sebagai gubernur Syam (sekarang : Suriah). Muawiyah menolak memberikan baiat kepada Ali yang terpilih sebagai khalifah sehingga Ali mengerahkan bala tentara untuk menggempur Muawiyah. Muawiyah juga mengumpulkan pasukan untuk menghadapi Ali. Kedua pasukan itu lalu bertemu di suatu tempat bernama Siffin. Pertempuran yang dinilai dahsyat dan tergolong besar terjadi antara kedua belah pihak, buktinya dengan banyak korban. Di pihak Ali, 25.000 orang gugur, sementara di pihak Muawiyah 45.000 personel tewas. Dalam pertarungan ini ini pihak Ali memperlihatkan akan memperoleh kemenangan dan berhasil mendesak pasukan Muawiyah. Amr ibn As yang ikut berperang di pihak Muawiyah mengusulkan kepada Muawiyah agar memerintahkan pasukannya mengangkat mushaf (kumpulan lembaran) al-Quran dengan ujung tombak sebagai isyarat minta damai. Pada mulanya, Ali tidak mau menerima tawaran damai Muawiyah tersebut. Tetapi, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama para qurra’ (pembaca) dan huffadz (penghafal), diputuskan untuk mengadakan arbitrasi (tahkim). Sebagai hakam atau penengah, diangkat dua orang, yaitu Abu Musa al-Asy’ari yang dikenal lurus mewakili kelompok Ali dan Amr ibn As yang licik menjadi delegasi golongan Muawiyah. Keputusan Ali menerima arbitrasi sebagai jalan penyelesaian sengketa tentang khilafah dengan Muawiyah ternyata tidak didukung oleh semua pengikutnya. Mereka yang tidak setuju dengan sikap Ali keluar dari barisan, lalu mengangkat Abdullah ibn Wahab al-Rasibi sebagai pemimpin mereka yang baru. Kelompok ini kemudian memisahkan diri ke Harura, suatu desa dekat Kufah. Mereka inilah yang dikenal dengan sebutan golongan Khawarij. Seiring perjalanan waktu, kaum Khawarij di Harura berhasil menyusun kekuatan dan memperoleh banyak pengikut, sehingga mereka berani menyatakan pembangkangan terhadap Ali. Menurut keyakinan mereka, Ali dan Muawiyah serta semua yang menyetujui arbitrasi dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karenanya, mereka harus ditentang dan dijatuhkan. Untuk menumpas kaum Khawarij tersebut, Ali menyiapkan sepasukan tentara dan kemudian kedua pasukan itu bertempur di sebuah tempat yang bernama Nahrawan. Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan tentara Ali dan hampir seluruh kekuatan Khawarij dapat dimusnahkan. Menurut Abdul Karim Syahristani, tidak sampai sepuluh orang kaum Khawarij yang selamat dari peperangan ini. Lainnya tumbang dalam medan perang, termasuk pemimpin mereka Abdullah ibn Wahab al-Rasibi. Akan tetapi, kekalahan total di Nahrawan tidak membuat kaum Khawarij patah semangat, malah justru membangkitkan semangat jihad mereka untuk menjatuhkan Ali. Akhirnya salah seorang di antara mereka yang bernama Abdurrahman ibn Muljam berhasil membunuh Ali saat beliau keluar rumah hendak melaksanakan shalat Subuh pada 17 Ramadlan 40 H/24 Januari 661 M. Sirajuddin Abbas menambahkan bahwa rencana pembunuhan yang dirancang oleh kaum Khawarij tidak saja Ali, tetapi juga terhadap Muawiyah yang akan dilakukan oleh al-Barak dan Amr ibn As yang akan dilaksanakan oleh Umar ibn Bakir. Amr ibn As akan dibunuh karena dinilai sebagai delegasi Muawiyah dalam arbitrasi yang menipu. Tetapi pembunuhan terencana terhadap keduanya tidak berhasil. Sekte-sekte dalam Khawarij Mengenai jumlah sekte Khawarij, para ulama berbeda pendapat. Yakni : 1. Abu Musa al-Asy’ari menyebutkan lebih dari dua puluh sekte. 2. al-Baghdadi (ahli ushul fiqh) berpendapat ada dua puluh sekte. 3. Syahristani mengatakan delapan belas sekte. 4. Ada ulama yang hanya menghitung sekte-sekte yang utama, seperti Mustafa al-Syak’ah (seorang ahli ilmu kalam) menyebut delapan sekte, yaitu : i) Al-Muhakkimah ii) Al-Azariqah iii) Al-Najdat iv) Al-Baihasiyah v) Al-Ajaridah vi) Al-Sa’alibah vii) Al-Ibadiyah viii) Al-Sufriyah 1. Abu Zahrah (ahli fiqh, ushul fiqh dan kalam) menerangkan empet sekte saja, yaitu : 1. i. Al-Najdat 2. ii. Al-Sufriyah 3. iii. Al-Ajaridah 4. iv. Al-Ibadiyah 2. Harun Nasution (ahli filsafat Islam dan mantan rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) dalam bukunya Filsafat Islam mengatakan ada enam sekte penting, yaitu : 1. i. Al-Muhakkimah 2. ii. Al-Azariqah 3. iii. Al-Najdat 4. iv. Al-Ajaridah 5. v. Al-Ibadiyah 6. vi. Al-Sufriyah Pokok Ajaran Khawarij Paham dan ajaran pokok dari setiap sekte Khawarij yang penting adalah sebagai berikut : 1. al-Muhakkimah di pandang sebagai golongan Khawarij asli karena terdiri dari pengikut-pengikut yang kemudian membangkang. Nama tersebut berasal dari semboyan mereka yang terkenal “la hukma illa li Allah” (tiada hukum kecuali hukum Allah) yang merujuk kepada al-Quran, al-Quran, 6:57 : Mereka menolak arbitrasi karena dianggap bertentangan dengan perintah Allah swt. dalam al-Quran, 49:9 : yang menyuruh memerangi kelompok pembangkang sampai mereka kembali ke jalan Allah swt. Selanjutnya, dalam paham sekte ini Ali, Muawiyah dan semua orang yang menyetujui arbitrasi dituduh telah kafir mereka telah menyimpang dari ajaran Islam, seperti tercantum dalam al-Quran, 5:44 Kemudian mereka juga menganggap kafir orang-orang yang berbuat dosa besar, seperti membunuh tanpa alasan yang sah dan berzina. 1. al-Azariqah. Sekte ini lahir sekitar tahun 60 H (akhir abad ke 7 M) di daerah perbatasan Irak dan Iran. Nama al-Azariqah dinisbatkan kepada pemimpin sekte ini, Nafi’ ibn Azrak al-Hanafi al-Hanzali. Sebagai khalifah, Nafi’ digelari Amir al-Mukminin. Menurut al-Baghdadi, pendukungnya berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Berbeda dengan al-Muhakkimah, al-Azariqah membawa paham yang lebih ekstrim. Paham mereka antara lain ialah bahwa setiap orang Islam yang menolak ajaran al-Azariqah dianggap musyrik. Pengikut al-Azariqah, yang tidak sudi berhijrah ke dalam wilayah mereka, juga dianggap musyrik. Menurut mereka, semua orang yang musyrik boleh ditawan atau dibunuh, termasuk anak dan istri mereka. Berdasarkan prinsip ini, pengikut al-Azariqah banyak melakukan pembunuhan terhadap sesama umat Islam yang berada di luar daerah mereka. Mereka memandang daerah mereka sebagai wilayah Islam (dar al-Islam), di luar daerah itu dinilai sebagai kawasan kafir (dar al-kufr). 2. al-Najdat. Sekte ini adalah kelompok yang dipimpin oleh Najdah ibn Amir al-Hanafi, penguasa daerah Yamamah dan Bahrein. Lahirnya kelompok ini sebagai reaksi terhadap pendapat Nafi’, pemimpin al-Azariqah, yang mereka pandang terlalu ekstrim. Pendapat itu ialah tentang pemusyrikan terhadap pengikut al-Azariqah yang tidak hijrah ke wilayah kelompok itu dan tentang kewenangan membunuh anak-istri yang musyrik. Pengikut al-Najdat memandang Nafi’ dan pengikutnya telah kafir. Paham al-Najdat yang terpenting adalah bahwa orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka dianggap kafir, dan kekal dalam neraka. Sementara pengikut al-Najdat tidak akan kekal dalam neraka walaupun melakukan dosa besar. Selanjutnya, menurut mereka, dosa kecil jika dilakukan secara kontinyu akan meningkat menjadi dosa besar. Paham lain yang di bawa adalah menyembunyikan identitas keimanan demi keselamatan (taqiyah); dalam hal ini seseorang diperbolehkan mengucapkan kata-kata atau tindakan yang bertentangan dengan keyakinan. Dalam perkembangannya, sekte ini mengalami perpecahan. Beberapa tokoh penting dari sekte ini, seperti Abu Fudaik dan Rasyid al-Tawil, membentuk kelompok oposisi terhadap al-Najdat yang berakhir dengan terbunuhnya Najdat pada tahun 69 H/688 M. 1. Al-Ajaridah. Pemimpin sekte ini adalah Abdul Karim ibn Ajarrad. Dibandingkan dengan al-Azariqah, pandangan-pandangan kaum al-Ajaridah jauh lebih moderet. Mereka berpendapat bahwa tidak wajib berhijrah ke wilayah mereka seperti yang diajarkan Nafi’, tidak boleh merampas harta dalam peperangan kecuali harta orang yang mati terbuuh dan tidak dianggap musyrik anak-anak yang masih kecil. Bagi mereka, al-Quran sebagai kitab suci tidak layak memuat cerita-cerita percintaan, seperti yang terkandung dalam surah Yusuf. Oleh karena itu, surah Yusuf dipandang bukan bagian dari al-Quran. 2. Al-Sufriyah. Sekte ini membawa paham yang mirip dengan paham al-Azariqah, hanya lebih lunak. Nama al—Sufriyah baerasal dari nama pemimpin mereka, Ziad ibn Asfar. Pendapatnya yang penting adalah istilah kufr atau kafir (mengandung dua arti, yaitu kufr al-ni’mah ‘mengingkari nikmat Tuhan’ dan kufr bi Allah ‘mengingkari Tuhan’). Untuk arti petama, kafir tidak berarti keluar dari Islam. Tentang taqiyah, mereka hanya membolehkan dalam bentuk perkataan, tidak boleh berupa tindakan, kecuali bagi wanita Islam yang diperbolehkan menikah dengan lelaki kafir bila terancam keamanan dirinya. Al-Ibadiyah. Sekte ini dimunculkan oleh Abdullah ibn Ibad al-Murri al-Tamimi pada tahun 686. Doktrin mereka yang terpenting antara lain bahwa orang Islam yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin, melainkan muwahid (orang yang dimaksud adalah kafir nikmat, yaitu tidak membuat pelakunya keluar dari agama Islam). Selanjutnya, yang dipandang sebagai daerah dar al-kufr hanyalah markas pemerintahan dan itulah yang harus diperangi. Selain daerah itu, disebut dar al-tauhid (wilayah orang-orang Islam), tidak bolah diperangi. Tentang harta yang boleh dirampas dalam perang, mereka hanya menetapkan kuda dan alat perang. Kelompok ini dianggap sebagai golongan yang paling moderat dalam Khawarij. Posted by madarikyahya on Juli 3, 2009 at 8:03 am Filed under: Kajian Aswaja | Leave a comment | Trackback URI http://madarikyahya.wordpress.com/2009/07/03/sejarah-dan-pokok-ajaran-khawarij/ Sejarah Khawarij & Ajarannya Submitted by ragaxx on March 23, 2011 – 12:12 pmNo Comment Dalam sejarah perkembangan Islam sejak dahulu kala telah terjadi perpecahan yang merupakan satu perwujudan dari sabda Rasulullah : Akan terpecah umat ini menjadi 73 golongan semuanya di neraka kecuali satu,lalu ditanyakan:siapakah mereka wahai Rasulullah ? beliau jawab: mereka adalah jama`ah (HSR At Tirmidzy) dan juga satu bukti akan kebenaran risalah kenabian Rasulullah. Khawarij merupakan satu kelompok yang besar dari kelompok-kelompok sempalan yang menyimpang dari Islam dalam permasalahan aqidah dan mereka tergambarkan sebagai satu gerakan revolusi berdarah dalam sejarah Islam yang cukup banyak menyibukkan negeri-negeri Islam dalam tempo waktu yang lama untuk memadamkannya, kemudian merekapun sempat berhasil menebar kekuasaan politik mereka pada wilayah-wilayah yang luas dari negeri-negeri Islam di timur dan barat, khususnya di Omaan, Hadromaut, Zanzibar (Tanzania) dan sekitarnya dari wilayah Afrika dan Maghrib Arab (Maroko, Aljazair, Tunis dan Libia) dan sampai sekarang mereka masih memiliki tsaqafah yang terwakii oleh sekte Al Ibadhiyah yang tersebar di wilayah-wilayah tersebut, sampai masih memiliki satu kesultanan yaitu kesultanan Omaan. Kemudian tidak diragukan kembali, bahwa sebagian pemikiran dan aqidah mereka -Khususnya Al Azaariqah yang berhubungan dengan pengkafiran pelaku kemaksiatan- sampai saat ini masih berkembang dan tampak jelas serta mereka masih memiliki pengikut yang menampakkan kekerasan dan kefanatikan mereka,sehingga membuat pembahasan tentang mereka ini menjadi penting dalam rangka menjelaskan pemikiran-pemikiran mereka yang menyimpang dari pemikiran islam dan menyelamatkan mereka dari perangkap dan kesesatan kelompok ini, akan tetapi penting untuk diketahui bahwa hampir-hampir hilang semua referensi dari mereka kecuali referensi sekte Al Ibadhiyah, sehingga dalam pembahasan ini saya merujuk kepada tulisan-tulisan para ulama ahli Sunnah wal Jama`ah seputar mereka,dan dibagi dalam pokok-pokok sebagai berikut: Definisi Khawarij 1.a.Secara Etimologi Bahasa Arab Khawarij adalah bentuk jama` dari khoorij dan Korij adalah kata turunan dari khuruj sedangkan khuruj secara etimologi Arab mengandung beberapa makna, diantaranya: a.Hari Kiamat berkata Abu Ubadah dalam menafsirkan firman Allah : (Yaitu) pada hari mereka mendengar teriakan dengan sebenar-benarnya itulah hari keluar (dari kubur). (QS. 50:42) khuruj adalah nama dari nama-nama hari qiamat b. Kebangkitan dari kubur pada hari qiamat sebagaimana dalam firman Allah : sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan (QS. 54:7) c. lawan dari masuk, yaitu keluar d. Jihad di jalan Allah. Sebagaimana firman Allah : Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka:Tinggallah kamu bersama orang-oang yang tinggal itu. (QS. 9:46) dan: Maka jika Allah mengembalikanmu kepada satu golongan dari mereka, kemudian mereka meminta ijin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka katakanlah:Kamu tidak boleh keluar bersama-samaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu duduklah (tinggallah) bersama orang-orang yang tidak ikut berperang. (QS. 9:83) e. Hijroh sebagaimana firman Allah : Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4:100) akan tetapi para ahli bahasa arab memasukkan makna lain yaitu satu kelompok dari ahlil hawa yang menyempal dari agama atau Imam Ali bin Abi Tholib Berkata Al Azhary :dan Al Khawarij adalah satu kaum dari ahlil hawa yang memiliki pemikiran-pemikiran tertentu. Berkata Az Zubaidy :dan mereka adalah Al Haruriyah, dan Al Kharijah adalah satu dari mereka,jumlah mereka tujuh kelompok.mereka dinamakan demikian karena mereka menyempal dari manusia atau dari agama atau dari kebenaran atau dari Ali setelah perang shiffin. b. Al-Haruriyah Nama ini adalah nisbat pada tempat kumpulnya para pendahulu mereka ketika berpisah dan memberontak terhadap Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib, dan dia adalah satu tempat dekat dengan kota Kufah yang dinamakan Al-Harura`. Berkata Abul Hasan Al-Asy`ari dalam bukunya Maqalat Islamiyin: Dan yang menjadi [sebab] penamaan [kelompok] ini dengan Haruriyah adalah tinggalnya mereka di Harura` di permulaan pembentukannya c. Asy-Syuraah Ini adalah nama lalu bagi mereka, yang menurut mereka diambil dari firman Allah : Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu`min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur`an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS. 9:111) Dan mereka selalu muji dan berbangga diri dengan nama ini. Berkata Abul Hasan Al-Asy`ari: Dan yang menjadi sebab penamaan mereka dengan syuraah adalah perkataan mereka telah kami jual jiwa-jiwa kami dalam ketaatan Allah, maknanya: kami telah membeli syurga.dengannya d. Al-Maariqah Nama lain untuk mereka adalah Al-Maariqah diambil dari hadits Rasulullah lihat hadits-hadits tentang khawarij. Berkata Asy-Syahrastaany: Dan mereka adalah Al-Maariqah yang berkumpul di An-Nahrawan. e. Al-Muhakkimah Ini termasuk nama-nama yang pertama kali dinisbatkan kepada mereka karena pengingkaran mereka terhadap tahkim dan slogan mereka: laa hukma illa lillah yang kemudian menjadi syiar [slogan] mereka ketika ingin memberontak terhadap penguasa atau ketika menyerang orang-orang yang menyelisihi mereka. Sebab-sebab munculnya khawarij Di antara faktor-faktor dan sebab-sebab penting kemunculan kelompok khawarij adalah: 1. Perseteruan sekitar masalah khilafah. kemungkinan ini merupakan sebab yang paling kuat dalam kemunculan Khawarij dan pemberontakan mereka, karena mereka memiliki pandangan yang khusus dan keras dalam hal ini,sehingga menganggap penguasa yang ada pada waktu itu tidak berhak menjadi kholifah bagi kaum muslimin ditambah juga dengan keadaan politik yang tidak menentu yang membuat mereka berani untuk memberontak terhadap para penguasa dan ketidak sukaan mereka terhadap orang-orang Quraisy,apalagi mereka menganggap bahwa perselisihan antara Ali dengan Muawiyah adalah perselisihan memperebutkan kursi kekhilafahan 2. Permasalahan tahkim. inipun menjadi sebab yang kuat dari pemberontakan dan kemunculan Khawaarij, karena mereka mengkafirkan Ali lantaran keridhoan beliau terhadap perkara ini 3. Kedzaliman para penguasa dan tersebarnya kemungkaran yang banyak dikalangan manusia. Demikianlah slogan dan propaganda mereka dalam khutbah-khutbah dan tulisan-tulisan mereka untuk mengambil simpati umat islam dengan mengatakan bahwa para penguasa telah berbuat kedzoliman dan kemaksiatan telah menyebar dan merebak pada masyakat yang ada sehingga perlu mencegahnya,akan tetapi pada hakikatnya apa yang mereka lakukan dengan memberontak terhadap penguasa itu lebih besar dari pada kemungkaran dan kedzoliman yang ada,karena mereka menganggap bahwa membunuh orang yang menyelisihi mereka merupakan satu ketaatan yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah dan menganggap semua penguasa mulai dari Ali kemudian Bani Umayah dan Abasiyah adalah dzolim tanpa klarifikasi dan kehati-hatian, padahal menegakkan keadilan dan mencegah kemungkaran bisa dilakukan dengan cara yang lain tanpa harus mengorbankan dan menumpahkan darah-darah orang yang menyelisihi mereka baik penguasa atau rakyat. 4. Fanatisme kesukuan.ini merupakan satu dari sebab-sebab munculnya Khawarij. Fanatisme kesukuan ini telah hilang pada zaman Rasulullah dan Abu Bakar serta Umar, kemudian muncul kembali pada zaman pemerintahan Utsman dan yang setelahnya. Pada zaman sebelum Islam telah terjadi permusuhan antara suku bangsa Rabi`ah-dan kebanyakan Khawarij dari mereka- dengan Mudhar-diantara mereka adalah Quraisy-sangat kuat. Dan pada masa Utsman fanatisme tersebut mendapat kesempatan untuk berkembang karena terjadi persaingan dalam memperebutkan jabatan-jabatan penting dalam kekhilafahan sehingga Utsman di tuduh mengadakan gerakan nepotisme dengan mengangkat banyak dari keluarganya untuk menjabat jabatan-jabatan strategis di pemerintahannya,dan inilah yang dijadikan hujjah oleh mereka untuk mengadakan kudeta terhadapnya.sehingga berkata Jabalah bin Amr: Demi Allah sungguh aku akan hilangkan kumpulan ini dari lehermu atau kamu tinggalkan pendamping-pendampingmu ini, berkata Utsman: Pendamping-pendamping yang mana? Maka demi Allah aku telah menyeleksinya. Berkata Jabalah :Marwan, Muuawiyah, Abdullah bin Amir bin Kuraiz dan Abdullah bin Saad telah engkau seleksi!? Sebenarnya orang yang menuduh dia telah mengangkat ahli baitnya untuk jabatan-jabatan tersebut karena kekeluargaan dan fanatis kesukuan adalah seorang pendusta yang ingin mencela dan melecehkan beliau,karena semua yang telah disebutkan Jabalah tersebut merupakan orang-orang yang telah terbukti lebih baik dan lebih pantas darinya dan mereka termasuk para pahlawan Islam yang terkenal,dan sejarah telah membuktikannya.Demikianlah hawa nafsu jika telah menguasai akal manusia. 5. Faktor ekonomi,ini dapat dilihat dari kisah Dzul Khuwaishiroh bersama Rasulullah dan kudeta berdarahnya mereka terhadap Utsman, ketika mereka merampas dan merampok harta baitul-mal langsung setelah membunuh Utsman, demikian juga dendam mereka terhadap Ali dalam perang jamal, ketika Ali melarang mereka mengambil wanita dan anak-anak sebagai budak rampasan hasil perang sebagimana perkataan mereka terhadap Ali: Awal yang membuat kami dendam padamu adalah ketika kami berperang bersamamu di hari peperangan jamal, dan pasukan jamal kalah, engkau membolehkan kami mengambil apa yang kami temukan dari harta benda dan engkau mencegah kami dari mengambil wanita-wanita mereka dan anak-anak mereka. Oleh karena itu faktor ekonomi pun berperan dalam membangkitkan revolusi mereka,akan tetapi dia bukanlah sebab satu-satunya sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. 6. Semangat keagamaan.ini pun merupakan satu penggerak mereka untuk keluar memberontak dari penguasa yang absah. Ciri-ciri Dan Sifat-sifat Khowarij Khowarij memiliki ciri-ciri dan sifat-sifat yang menonjol yang telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadits-hadits yang shohih, dan hal itu sangat penting dalam mengetahui siapa mereka,dan diantara faidah mengetahui hal ini: 1. Dengan mengetahui sifat-sifat ini akan tampaklah kepada kita berlebih-lebihannya mereka dalam beragama 2. Menimbulkan keyakinan bahwa mereka akan selalu ada sampai hari kiamat, karena Rasulullah telah menjelaskannya dan ini penting bagi kita untuk menghindari dari mereka dan mengingatkan umat akan bahaya mereka serta tidak terjatuh dalam hal-hal tersebut. Diantara sifat-sifat tersebut adalah: 1. suka mencela dan menganggap sesat para pemimpin. Sifat ini tampak jelas pada Khowaarij, mereka selalu mencela para pemimpin-pemimpin dan menganggap mereka sesat serta menghukumi mereka sebagai orang-orang yang sudah keluar dari keadilan dan kebenaran, dan ini dapat dilihat dari sikap Dzul Khuwaishiroh terhadap Rasulullah. 2. Berprasangka buruk, ini adalah sifat Khawarij yang tampak dalam cara menghukum yang dilakukan oleh Dzul Khuwaishiroh. Berkata Syiekhul Islam : Pada tahun peperangan Hunain, beliau membagi Ghonimah (rampasan perang) Hunain kepada orang-orang yang hatinya lemah (Mualafah Qulubuhum) dari penduduk Nejd dan bekas tawanan Quraisy seperti `Uyainah bin Hafsh,dan beliau tidak memberi kepada kaum Muhajirin dan Anshor sedikitpun. Maksud beliau memberikan kepada mereka adalah untuk mengikat hati mereka dengan Islam, karena keterkaitan hati mereka dengannya merupakan mashlahat umum bagi kaum muslimin, sedangkan yang tidak beliau beri adalah karena mereka lebih baik dimata beliau dan mereka adalah wali-wali Allah yang bertaqwa dan seutama-utamanya hamba Allah yang sholih setelah para Nabi dan Rasul-rasul-Nya.Jika pemberian itu tidak dipertimbangkan untuk mashlahat umum, maka Nabi tidak akan memberikannya pada orang-orang kaya para pemimpin yang ditaati dalam perundang-undangan dan akan memberikannya kepada Muhajirin dan Anshor yang lebih membutuhkan dan lebih utama. Oleh karena itu orang-orang Khawarij mencela Nabi dan dikatakan kepada beliau oleh pelopornya:Wahai Muhammad berbuatlah adil, sesungguhnya engkau tidak berlaku adil. Dan perkataannya: `sesungguhnya pembagian ini tidak dimaksudkan untuk mendapat wajah Allah …. Mereka meskipun banyak shaum (puasa), sholat dan membaca Alquran,tetapi keluar dari As Sunnah dan Jamaah, Memang mereka dikenal sebagai kaum yang suka beribadah, wara dan zuhud akan tetapi tanpa disertai ilmu, sehingga mereka memutuskan bahwa pemberian itu semestinya tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang berhajat, bukan kepada para pemimpin yang ditaati dan orang-orang kaya itu,jika didorong untuk mencari keridhoan selain Allah-menurut prasangka mereka. Inilah kebodohan mereka, karena sesungguhnya pemberian itu menurut kadar mashlahat agama Allah. Jika pemberian itu akan semakin mengundang ketaatan kepada Allah dan semakin bermanfaat bagi agama-Nya, maka pemberian itu lebih utama. Pemberian kepada orang yang membutuhkannya untuk menegakkan agama, menghinakan musuh-musuhnya, memenangkan dan meninggikannya lebih agung daripada pemberian yang tidak demikian itu,walaupun yang kedua lebih membutuhkan(Lihat Majmu` Fatawa XXVIII/579-581 dengan sedikit diringkas) 3. Berlebihan dalam beribadah sebagaimana sabda Rasulullah : karena dia mempunyai teman-teman yang salah seorang di antara kalian akan diremehkan [merasa remah] shalatnya jika dibandingkan dengan shalat mereka, dan puasanya jika dibandingkan dengan puasa mereka. Berkata Ibnu Hajar: Mereka (Khowarij) dikenal sebagai Qurra` Penghapal Alquran), karena besarnya kesungguhan mereka dalam tilawah dan ibadah, akan tetapi mereka suka menta`wil Alquran dengan ta`wil yang menyimpang dari maksud yang sebenarnya. Mereka lebih mendahului pendapat-pendapat mereka, berlebih-lebihan dalam zuhud dan khusyu` dan lain sebagainya. 4. Keras terhadap kaum muslimin, sebagimana sabda Rasulullah : Sesungguhnya akan keluar dari keturunan laki-laki ini, suatu kaum yang membaca Alquran tidak melebihi kerongkongan mereka. membunuh pemeluk Islam dan membiarkan penyembah berhala. Terlepas dari Islam seperti terlepasnya anak panah dari busurnya. Seandainya aku menemui mereka, sunggguh akan aku bunuh mereka seperti dibunuhnya kaum `Aad Sejarah telah mencatat dalam lembaran-lembaran hitamnya tentang Khawarij berkenaan dengan cara mereka ini. Diantara kejadian yang mengerikan adalah kisah Abdullah bin Khobaab: Dalam perjalanannya, orang-orang Khaawarij bertemu dengan Abdullah bin Khabab.mereka bertanya kepadanya:Apakah engkau pernah mendengar dari bapakmu suatu hadits yang dikatakan dari Rasulullah, kalau ada, ceritakanlah kepada kami tentangnya! lalu beliau berkata:ya, aku telah mendengar dari bapakku, bahwa Rasulullah menyebutkan tentang fitnah.Yang duduk ketika itu lebih baik dari pada yang berdiri, yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan yang berjalan lebih baik dari yang berlari, jika engkau menemuinya, hendaklah engkau menjadi hamba Allah yang terbunuh. mereka berkata: Apakah engkau mendengar hadits itu dari bapakmu dan memberitakannya dari Rasulullah?.beliau menjawab:ya, setelah mendengar jawaban beliau tersebut, mereka mengajak ke hulu sungai, lalu memenggal lehernya, maka mengalirlah darahnya seolah-olah seperti tali terompah. Lalu mereka membelah perut istrinya yang sedang hamil dan mengeluarkan isinya. Kemudian mereka datang kesebuah pohon kurma yang lebat buahnya di Nahrawan. Tiba-tiba jatuhlah buah pohon korma tersebut dan diambil salah seorang diantara merekalalu dia masukkan kedalam mulutnya, Berkatalah salah seorang dari mereka,engkau mengambil tanpa dasar hukum, dan tanpa harga (tidak membelinya dengan sah).Akhrnya ia pun membuangnya kembali dari mulutnya salah seorang dari mereka yang lain mencabut pedangnya lalu mengayunkannya. Kemudian mereka melewati babi milik seorang ahlu dzimmah, lalu ia penggal lehernya kemudian diseret moncongnya. Mereka berkata:ini adalah kerusakan dimuka bumi.setelah mereka bertemu dengan pemilik babi itu, maka mereka mengganti harganya(Talbis Iblis hal.93-94) 5. Sedikit dan rendah pemahaman mereka terhadap fiqh, ini merupakan kesalahan mereka yang sangat besar yang menyebabkan mereka menyempal dari ajaran yang benar. 6. Muda usia dan berakal rendah, sebagaimana sabda Rasulullah : Akan keluar padda akhir zaman suatu kaum, umumnya masih muda, rusak akalnya, mereka mengatakan dari sebaik-baik perkataan makhluk. Membaca Alquran tidak melebihi kerongkongannya. Terlepas dari agama seperti terlepasnya anak panah dari busurnya (H.R. Bukhari VI/618 no. 3611; Muslim II/746 no 1066) 7. Fasih dalam berbahasa. Telah terkenal kefasihan mereka dalam berbicara dan berbahasa, sehingga berkata Ibnu Ziyad: Sungguh ucapan mereka lebih cepat sampai ke hati-hati manusia dari pada rambatan api ke batang kayu Dikutip dari tulisan Kholid bin Syamhudi Rohimahullohhu ta’ala sumber : http://mifty-away.tripod.com/id78.html http://ragaxx.co.cc/artikel-islam/sejarah-khawarij-ajarannya.html Sejarah dan Ajaran Pokok Sekte Khawarij Diposkan oleh Kneza Irsyad di 6:19 AM Label: Teologi Islam Mazhab Khawarij muncul bersamaan dengan mazhab Syi’ah. Mazhab Khawarij untuk pertama kali muncul di kalangan tentara Ali ketika peperangan memuncak antara pasukan Ali dan pasukan Muawiyah. Ketika merasa terdesak olh pasukan Ali, Muawiyah merencanakan untuk mundur, tetapi kemudian terbantu dengan munculnya pemikiran untuk melakukan tahkim. Tentara Muawiyah mengacung-acungkan al-Qur’an agar mereka bertahkim dengan al-Qur’an. Namun Ali tetap melanjutkan peperangn sampai ada yang menang dan kalah, maka keluarlah skelompok orang dari pasukan Ali yang menuntut agar ia menerima usulan tahkim. Dengan terpaksa Ali menerima usulan itu. Kedua belah pihak sepakat untuk mengangkat seorang hakam (delegasi) dari masing-masing pihak. Muawiyah memilih Amr bin Ash yang merupakan politikus dan pandai berunding. Sementara Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah bin Abbas, tetapi atas desakan pasukannya yang keluar itu, akhirnya mengangkat Abu Musa Al-Asy’ari, seorang ulama’. Upaya tahkim akhirnya berakhir dengan suatu keputusan, yaitu menurunkan Ali dari jabatan kholifah da mengukuhkan Muawiyah menjadi penggantinya. Hasil tahkim ini lebih menguntungkan para pemberontak yang dipimpin Muawiyah. Anehnya, kelompok yang semula meamaksa Ali untuk menerima tahkim orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka itu, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar. Kemudian mereka menuntut Ali agar bertaubat karena dipandang telah berbuat dosa besar. Menurut mereka, Ali yang menyetujui bertahkim berarti telah menjadi kafir, sebagaimana mereka juga telah menjadi kafir, kemudian bertaubat. Semboyan mereka yang terkenal ialah “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah” Mereka kemudian memerangi Ali, setelah trlebih dahulu berdialog dengan Ali, kemudian mengukuhkan pendapatnya. Hadits tentang munculnya kaum Khawarij Sebgaian orang Khawarij selalu menginterupsi pidato Ali, bahka menginterupsi sholatnya. Sebagian lain menciptakan permusuhan dengan kaum muslimin dengan cara mencaci maki Ali dan Utsman, serta menuduh pengikut keduanya dengan tuduhan musyrik. Para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikira dangkal. Sebenarnya penganut aliran Khawarij banyak yang ikhlas dalam beragama, tetapi keikhlasan mereka diberengi dengan kesempitan berpikir yang hanya tertuju pada satu arah tertentu saja. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abbas bertemu dengan orang Khawarij untuk berdialog. Ia melihat kening yang menghitam karena banyak melakukan sujud, tangan mereka seperti lutut unta (rajin bekerja) dan pakaian mereka bersih. Cerita di atas merupakan manifestasi keikhlasan mereka, tetapi kepicikan berpikir sangat dominan dalam diri mereka. Mereka tega membunuh Abdullah bin Khabbab hanya karena ia tidak mau menyatakan kepada merek bahwa Ali musyrik. Namun, mereka tidak mau mengambil kurma orang Nashrani tanpa membayar. Berikut ini adalah suatu kisah yang dikutip dari kitab al-Kamil karya al-Mubarrod. Di antara perangai mereka yang sangat kontroversial ialah mereka menagkap seorang Muslim dan Nashrani. Orang Muslim mereka bunuh, sedangkan orang Nashrani mereka nasihati secra baik, dengan mengatakan, “Peliharalah janji nabi kamu,” Mengapa terdapat sifat-sifat yang bertentangan dalam diri mereka? Sifat-sifat taqwa, ikhlas, menyeleweng, ceroboh, ketat dalam memberi penilaian, keras, garang, giat mengajak orang untuk mngikuti pendapat mereka yang menyimpang, berpikiran sempit dan lain-lain. Hal itu disebabkan kebanyakan penganut paham Khawarij adalah Arab pegunungan dan hanya sedikit dari kalangan Arab perkotaan. Pada waktu mereka menerima Islam, kehidupan mereka sangat sulit. Ketika Islam datang kehidupan alami mereka tidak menjadi bertambah baik, sebab kondisi kehidupan pegunungan mereka tetap berlanjut mengingat kerasnya lingkungan alam mereka. Islam masuk ke lubuk hati mereka berdampingan dengan sempitnya berpikir dan imajinasi mereka serta jauhnya mereka dari ilmu pengetahuan. Dari sejumlah persoalan itu, muncullah jiwa yang beriman dan fanatik (karena pola pikir yang sempit), bersikap gigih (karena sesuai dengan alam yang ganas), zahid atau tidak cinta dunia (karena mereka memang miskin). Model kehidupan yang mereka jalani itulah yang menyebabkan munculnya sifat-sifat yang saling bertentangan dalam diri mereka. Kalaupun di atas dukatakan bahwa Khawarij memiliki sifat tulus atau ikhlas pada waktu keluar dari pasukan Ali dan melawan Muawiyah, itu tidak berarti bahwa keikhlasan mereka tidak dicampuri sifat0sifat lain. Akan tetapi, memang sejak awal sudah ada yang mengeruhkannya. Tak bisa dipungkiri, bahwa ada faktor-faktor lain, disamping kepercayaan yang hak, yang mendorong mereka untuk keluar dari barisan Ali . Antara lain ialah Khawarij merasa iri terhadap kalangan QuRAISY yang memegang jabatan kholifah dan memonopoli jabatan tersebut. Beberapa Prinsip yang disepakati Aliran-Aliran Khawarij Pertama, dan ini yang paling tegas, adalah pengangkatan kholifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar-benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi. Seorang kholifah tetap pada jabatnnya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at, serta jauh dari kesalahan serta penyelewengan. Jika ia menyimpang, maka ia diturunkan jabatannya atau dibunuh. Kedua, jabatan kholifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy sebagaimana dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama. Ketiga, yang berasal dari aliran Najdah, pengangkatan kholifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah-masalah mereka. Jika masyarakat berpendapat bahwa masalah mereka tidak dapat diselesaikan dengan tuntas tanpa seorang imam (kholifah) yang dapat membimbing masyarakat ke jalan yang benar, maka ia boleh diangkat. Jadi pengangkatan imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersifat kebolehan. Klaupun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban itu berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan. Keempat, orang yang berdosa adalah kafir. Mereka tidak membedakan antara satu dosa dan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapat merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran. Itulah sebabnya mereka mengkafirkan Ali ketika menerima usulan tahkim, padahal upaya tahkim itu bukan pilihan Ali. Penetapan kafirnya Ali menunjukkan pendapat mereka bahwa kesalahan dalam berijtihad dapat membuat seseorang keluar dari Islam. Demikian pula halnya dengan pengkafiran Thalhah, Ibnu Zubair, dan para tokoh sahabat lainnya, yang pendapatnya dalam kasus-kasus tertentu bertentangan dengan pendapat Khawarij. Prinsip keempat inilah yang membuat Khawarij keluar dari mayoritas umat Islam. Mereka memandang orang yang berbeda paham dengannya telah menjadi musyrik. Berikut ini penjelasan dalil-dalil yang digunakan untuk mendasari pendapat mereka. Antara lain firman Allah, ومن لم يحكم بما انزل الله فالئك هم الكفرون Baranf siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir. (Q.S Al-Maidah: (Q.S Al-Maidah: 44). Oleh karenanya, Khawarij menetapkan bahwa orang yang meninggalkan haji menjadi kafir. Karena meninggalkan haji adalah dosa, maka yang berdosa menjadi kafir. Semua dalil di atas dipahami dalam bentuk makna lahir ayat. Dalam dalil di atas, kekafiran bukanlah sifat dari orang yang tidak melaksanakan haji, tetapi bagi orang yang mengingkari kewajiban haji. Wallahu A’lam bis showab http://disini-blogku.blogspot.com/2011/01/sejarah-dan-ajaran-pokok-sekte-kawarij.html