Rabu, 27 Juni 2012

QIYAS Pengertian Qiyas secaa etimologi berarti Qadr (ukuran,bandingan). Apabila orang arab berkata qistu hadza bi dzaka, maka maksudnya, saya mengukur ini dengan itu. Adapun secara etimologi, terdapat beberapa definisi qiyas yang dirumuskan ulama, tiga definisi diantaranya adalah : 1. Menurut Ibnu as-Subki, qiyas ialah : Menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain karena adanya kesamaan ‘illah hukum menurut mujtahid yang menyamakan hukumnya. 2. Menurut al-Amidi, qiyas ialah : Keserupaan antara cabang dan asal pada ‘illah hukum asal menurut pandangan mujtahid dari segi kemestian terdapatnya hukum (asal) tersebut pada cabang. 3. Menurut Wahbah az-Zuhaili, qiyas ialah : Menghubungkan suatu masalah yang tidak terdapat nashsh syara’ tentang hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nashsh hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari segi ‘illah hukum. Unsur-Unsur Qiyas Meskipun definisi di atas berbeda-beda redaksinya, tetapi pada hakikatnya terdapat kesamaan makna, dimana dalam definisi mereka terdapat unsur-unsur qiyas yaitu : al-ashl (dasar;pokok), al-far’u (cabang), hukum ashl dan ‘illah. 1. Al-ashl (Dasar: Pokok) As-ashl ialah sesuatu yang telah ditetapkan ketentuan hukmnya berdasarkan nashsh, baik nashsh tersebut berupa Al-Qur’an maupun Sunnah. Dalam istilah lainnya, al-ashl ini disebut juga dengan maqis ‘alaih (yang di-qiyas-kan atasnya) atau musyabbahbih (yang diserupakan dengannya). Mengenai unsur pertama ini, beberapa ulama menetapkan pula beberapa persyaratan sebagai berikut: a. Al-ashl tidak mansukh, artinya hukum syara’ yang akan menjadi sumber peng-qiyas-an itu masih tetap berlaku pada masa hidup Rasulullah saw. Apabila telah dhapuskan ketentuan hukumnya, maka ia tidak dapat menjadi al-ashl. b. Hukum syara’, persyaratan ini sangat jelas dan mutlak, sebab yang hendak ditemukan ketentuan hukumnya melalui qiyas adalah hukum syara’, bukan ketentuan hukum yang lain. c. Bukan hukum yang dikecualikan, jika al-ashl tersebut merupakan pengecualian, maka tidak dapat menjadi wadah qiyas. Misalnya, ketetapan sunnah bahwa puasa karena lupa tidak batal. Ketentuan ini tidak dapat menjadi ashl al-qiyas untuk menetapkan tidak batalnya puasa orang yang berbuka puasa karena terpaksa. 2. Al-far’u (Cabang) Al-far’u ialah masalah yang hendak di-qiyas-kan yang tidak ada ketentuan nashsh yang menetapkan hukumannya. Unsur ini disebut juga dengan maqis, atau mahal asy-syabh. Terhadap unsur ini, para ulama menyebutkan beberapa syarat sebagai berikut : a. Sebelum di-qiyas-kan tidak pernah ada nashsh lain yang menentukan hukumnya. Jika lebih dahulu telah ada nashsh yang menentukan hukumannya, tentu tidak perlu dan tidak boleh dilakukan qiyas terhadapnya. b. Adanya kesamaan antara ‘illah yang terdapat dalam al-ashl dan yang terdapat dalam al-far’u. c. Tidak terdapat dalil qath’i yang kandungannya berlawanan dengan al-far’u. d. Hukum yang terdapat dalam al-ashl bersifat sama dengan hukum yang terdapat dalam al-far’u. 3. Hukum Ashl Hukum ashl ialah ialah hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nashsh tertentu baik dari al-Qur’an maupun sunnah. Terhadap unsur ketiga ini para ulama mengatakan syarat-syaratnya sebagai berikut: a. Hukum tersebut adalah hukum syara’, bukan yang berkaitan dengan hukum aqliyyat atau adiyyat dan atau lughawiyyah. b. ‘illah hukum tersebut dapat ditemukan; bukan hykum yang tidak dapat dipahami ‘illahnya(ghair ma’qulah al-ma’na) c. Hukum ashl tidak temasuk dalam kelompok yang menjadi khushusiyyah Rasulullah SAW. d. Hukum ashl tetap berlaku setelah wafatnya rasulullah SAW; bukan ketentuan hukum yang sudah dibatalkan (mansukh). Contoh unsur ketiga ini, dikaitkan dengan unsur pertama dan kedua ialah, hukum haramnya khamr. 4. ‘Illah ‘Illah ialah suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi, dan sejalan denag tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum. Para ulama’menetapkan beberapa syarat terhadap suatu ‘illah hukum, agar dipandang sah sebagai ‘illah yaitu sebagai berikut : a. Zhahir ialah mestilah suatu sifat yang jelas dan nyata, dapat disaksikan dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan yang lain. b. ‘Illah harus mengandung hikmah yang sesuai dengan kaitan hukum dan tujuan hukum. c. Mudhabithah ialah ‘illah mestinya sesuatu yang dapat diukur dan jelas batasnya. d. Mula’im wa munasib ialah suatu ‘illah harus memiliki kelayakan dan memiliki hubungan yang sesuai antara hukum dan sifat yang dipandang sebagai ‘illah. e. Muta’addiyah ialah suatu sifat yang terdapat bukan hanya pada peristiwa yang ada nashsh hukumnya, tetapi juga terdapat pada peristiwa-peristiwa lain yang hendak ditetapkan hukumnya. PERBEDAAN ANTARA ‘ILLAH, SABAB DAN HIKMAH Adapun perbedaan antara ‘illah dan sabab ialah sebagaimana telah dijelaskan, ‘illah adalah suatu sifat yang nyata, sesuai dengan tujuan hukum, dan terukur, dimana asy-syari’ menjadikannya sebagai gantungan adanya hukum. Dan sabab (sebab) adalah suatu sifat yang nyata dan terukur, di mana asy – syari’ menjadikannya sebagai gantugan/kaitan adanya hukum, baik sifat tersebut memiliki unsut munasib (hubungan yang serasi ) dengan hukum itu sendiri (seperti contoh ‘illah di atas), maupun tidak terlihat adanya keserasian hubungan antara sifat tersebut dengan hukumnya. Bahwa sabab lebih bersifat umum daripada ‘illah, di mana sifat hukum yang menjadi ‘illah mesti memiliki kesesuaian yang serasi (munasib), dengan hukumnya, sedangkan sebab tidak mesti memiliki unsur munasib. Sedangkan hikmah ialah dampak yang timbul dalam bentuk lahirnya manfaat atau terhindarnya kemudhorotan dari adanya hubungan antara hukum dengan ‘illah atau sababnya dengan kata lain hikmah menggambarkan tujuan penetapan hukum itu sendiri, dalam hal ini para ulama’ sepakat bahwa ada atau tidak adanya ketentuan hukum tertentu tergantung pada ada atau tidak adanya ‘illah atau sababnya, meskipun terkadang hikmah yang ditimbulkannya berbeda-beda. Cara Menentukan ‘Illah Unsur-unsur qiyas yang keempat yaitu masalah ‘illah dengan kata lain persoalan ‘illah merupakan masalah yang palinh mementukan untuk menilai keabsahan suatu qiyas. Beberapa hal berikut ini yang berkaitan dengan cara menentukan ‘illah. Untuk mementukan ‘illah terkadang ditemukan petunjuk yang jelas tetai terkadang petunjuk tersebut tidak jelas. Pada kasus yang lain ada pula petunjuk yang bersifat langsung untuk memenukannya, tetapi ada pula yang tidak langsung. Cara menentukan dan mememukan ‘illah iti sendiri dalam ushul fiqh disebut dengan istilah masalik al-‘illah. Ada beberapa cara untuk menemukan adanya ‘illah dalam suatu hukum salah satu diantaranya adalah nashsh. Tingkatan-Tingkatan Qiyas Tingkatan-tingkatan qiyas dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu dari segi kejelasan, kekuatan, penyebutan, kesrasian ‘illah, dan dari segi metode penemuan ‘illahnya. Ditinjau dari kejelasan ‘illahnya dibagi menjadi dua bagian: 1. Qiyas al-jali (qiyas yang nyata), terdiri atas dua macam yaitu : a. Suatu qiyas yang ‘illah hukumnya bersifat nyata karena disebutkan oleh nashsh. b. Suatu qiyas yang ‘illahny atidak disebutkan di dalam nashsh, tetapi tidak ada kesamaran untuk mengetahui persamaan ‘illah itu di dalam al-ashl dan al-far’u. 2. Qiyas al-khafi (qiyas yang tersembunyi) Yaitu suatu qiyas yang ‘illahnya tidak disebutkan di dalam nashsh secara nyata, sehingga untuk menemukan ‘illah hukumnya memerlukan ijtihad. Ditinjau dari segi kekuatan atau lemahnya ‘illah yang terdapat pada al-far’u lebih kuat dibandingkan dengan ‘illah yang terdapat pada al-ashl, tingkatan qiyas terdiri atas tiga tingkatan, yaitu : a. Qiyas al-awla (qiyas yang lebih utama) Adapun yang dimaksud dengan qiyas al-awla suatu qiyas yang ‘illahnya pada al-far’u lebih kuat dibandingkan dengan al-ashl, sehingga penerapan hukum yang terdapat pada al-ashl lebih utama diterapkan pada al-far’u. b. Qiyas al-musawi (qiyas yang setara) Adapun yang dimaksud dengan qiyas al-musawi ialah suatu qiyas yamg memiliki kekuatan ‘illah yang sama yang terdapat pada al-ashl dan al-far’u, sehingga hukumnya juga sama pada al-ashl dan al-far’u. c. Qiyas al-adna (qiyas yang lebih rendah) Adapun yang dimaksud dengan qiyas al-adna ialah qiyas yang ‘illah hukum yang terdapat pada al-far’u lebih lemah dari pada ‘illah yang terdapat pada al-ashl. Meskipun ‘illah hukumnya lebih lemah, namun ketentuan hukum yang terdapat pada al-ashl tetap memenuhi syarat untuk ditetapkan pada al-far’u. Selanjutnya, tingkatan ‘illah ditinjau dari segi disebutkan atau tidak disebutkannya ‘illah tersebut dalam al-ashl, dapat dibagi pada dua tingkatan yaitu qiyas al-‘illah dan qiyas al-ma’na yaitu : a) Qiyas al-‘illah yaitu qiyas yang ‘illahnya disebutkan secara jelas dalam al-ashl. Berdasrkan al-ashl yang ‘illahnya jelas inilah diterapkan hukumnya kepada al-far’u yang juga memiliki ‘illah yang sama yang terdapat di dalamnya. b) Qiyas al-ma’na yaitu qiyas yang tidak disebutkan secara jelas dalam al-ashl, tetapi dapat dipahami dengan jelas adanya sesuatu yang menurut logika hukum bahwa ia adalah ‘illah hukum tersebut, ‘illah ini kemudian menjadi dasar untuk menetapkan pada al-far’u yang memiliki persamaan dari segi ‘illah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar